Kamis, 11 Oktober 2012

Perbedaan Antara Nabi dan Rasul


Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, tapi di sini Saya hanya akan menyebutkan sebahagian di antaranya:
  • Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian. 
Karena tidak mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh karena itulah, para ulama menyatakan bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- diangkat menjadi nabi dengan 5 ayat pertama dari surah Al-‘Alaq dan diangkat menjadi rasul dengan dengan 7 ayat pertama dari surah Al-Mudatstsir. Telah berlalu keterangan bahwa setiap rasul adalah nabi, tidak sebaliknya. 
Imam As-Saffariny -rahimahullah- berkata, “Rasul lebih utama daripada nabi berdasarkan ijma’, karena rasul diistimewakan dengan risalah, yang mana (jenjang) ini lebih ringgi daripada jenjang kenabian”. (Lawami’ Al-Anwar: 1/50)
Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Tafsirnya (3/47), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwasanya para rasul lebih utama daripada seluruh nabi dan bahwa ulul ‘azmi merupakan yang paling utama di antara mereka (para rasul)”.

  • Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum yang telah beriman.

Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan bahwa yang didustakan oleh manusia adalah para rasul dan bukan para nabi, di dalam firman-Nya:

ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ

“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya”. (QS. Al-Mu`minun : 44)

Dan dalam surah Asy-Syu’ara` ayat 105, Allah menyatakan:

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul”.

Allah tidak mengatakan “Kaum Nuh telah mendustakan para nabi”, karena para nabi hanya diutus kepada kaum yang sudah beriman dan membenarkan rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ

“Dulu bani Isra`il diurus(dipimpin) oleh banyak nab. Setiap kali seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi setelahnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

  • Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru. 
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Ma`idah : 48)

Allah mengabarkan tentang ‘Isa bahwa risalahnya berbeda dari risalah sebelumnya di dalam firman-Nya:

وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ

“Dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang dulu diharamkan untuk kalian”. (QS. Ali ‘Imran : 50)

Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyebutkan perkara yang dihalalkan untuk umat beliau, yang mana perkara ini telah diharamkan atas umat-umat sebelum beliau:

وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمَ وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

“Dihalalkan untukku ghonimah dan dijadikan untukku bumi sebagai mesjid (tempat sholat) dan alat bersuci (tayammum)”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)

Adapun para nabi, mereka datang bukan dengan syari’at baru, akan tetapi hanya menjalankan syari’at rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada nabi-nabi Bani Isra`il, kebanyakan mereka menjalankan syari’at Nabi Musa -’alaihis salam-.

  • Rasul pertama adalah Nuh -’alaihis salam-, sedangkan nabi yang pertama adalah Adam -’alaihis salam-.

Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan :

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya”. (QS. An-Nisa` : 163)

Dan Nabi Adam berkata kepada manusia ketika mereka meminta syafa’at kepada beliau di padang mahsyar:

وَلَكِنِ ائْتُوْا نُوْحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُوْلٍ بَعَثَهُ اللهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ

“Akan tetapi kalian datangilah Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

Jarak waktu antara Adam dan Nuh adalah 10 abad sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkah oleh Ibnu Hibban (14/69), Al-Hakim (2/262), dan Ath-Thobarony (8/140).

  • Seluruh rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya. Adapun nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh oleh kaumnya. 
Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 91:

فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?”. 

Juga dalam firman-Nya:

وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Mereka membunuh para nabi tanpa haq”. (QS. Al-Baqarah : 61)

Allah menyebutkan dalam surah-surah yang lain bahwa yang terbunuh adalah nabi, bukan rasul.

Atau yang menbedakan antara NABI dengan RASUL adalah : 

RASUL.
a. Wahyu berisi ajaran keislaman,
Berisi syareat lahiriyah yang mengikat setiap orang, karena itu orang yang menolak bersaksi dengan kalimat syahadat diperangi, dan mereka yang telah mengucapkannya wajib dilindungi baik darahnya, kehormatannya dan hartanya, adapun masalah perhitungan bathiniyahnya terserah kepada Allah, karena missi kerasulan itu bukan untuk mengorek hati seseorang. Nabi saw bersabda:   
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا  مَنَعُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ  وَأَمْوَالَهُمْ  إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ‏‏وَفِي ‏‏الْبَاب ‏‏عَنْ ‏ ‏جَابِرٍ ‏ ‏وَأَبِي سَعِيدٍ ‏ ‏وَابْنِ عُمَرَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏أَبُو عِيسَى ‏هَذَا ‏ ‏حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ‏ (رواه الترمذي) عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ
“aku diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaha illallaah, maka bila mereka telah mengucap- kannya, terjagalah darah mereka, dan harta mereka kecuali dengan [hukum yang sesuai] haknya, dan perhitungan [amalnya] terserah Allah.” dari Ibnu ‘Umar, [ Hr Bukharii].  [1]
Pengertian memerangi dalam hadits diatas bukan berarti dalam konotasi kekerasan, tetapi seperti istilah memerangi kebodohan, kemelaratan, kelemahan iman, peperangan bersenjata adalah opsi terakhir yang dilakukan bila memenuhi syaratnya. Bila manusia telah berikrar dengan kalimat tauhid maka terjagalah dirinya, hartanya dan kehormatannya, dan ia tidak boleh dianiaya. Karena itu kejadian pada Usamah yang membunuh musuh yang sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dipersalahkan oleh Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُسَامَةَ فِي الرَّجُلِ الَّذِيْ قَتَلَهُ بَعْدَ أَنْ قَالَ “لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ”: “لِمَ قَتَلْتَهُ؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْجَعَ فِي الْمُسْلِمِينَ وَقَتَلَ فُلَانًا وَفُلَانًا وَسَمَّى لَهُ نَفَرًا وَإِنِّي حَمَلْتُ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى السَّيْفَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَتَلْتَهُ؟! قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ تَصْنَعُ بـ”لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟! قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي قَالَ وَكَيْفَ تَصْنَعُ بـ”لا إله إلا الله” إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟! قَالَ: فَجَعَلَ لَا يَزِيدُهُ عَلَى أَنْ يَقُولَ كَيْفَ تَصْنَعُ: كيف تصنع بـ”لا إله إلا الله” إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟!” (رواه مسلم.
Rasulullaah saw bersabda kepada Usamah karena ia membunuh seorang yang sudah mengucapkan Laa ilaaha illallah, Rasulullah saw : “Mengapa kamu membunuhnya?”
Usmah berkata: ”wahai Rasulallaah saw ia menyerang kaum muslimin dan membunuh si Fulan dan Fulan,” dan ia menyebut nama peleton, “maka saya hadapi, ketika melihat pedangku ia mengucapkan : Laa ilaaha illallaah.”
Rasulullah saw bersabda: “apa kamu membunuhnya?”
Usamah menjawab : “ya ”
Beliau saw berkata: “ maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di hari kiamat ?” 
Usamah berkata: “Wahai Rasulullaah saw mohonkanlah ampun bagiku.”
Beliau berkata: “ maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di hari kiamat ?” 
Usmah berkata: maka beliau terus bertanya begitu dan tidak menambah pertanyaan beliau dengan : maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di hari kiamat?.  (Hadits riwayat Muslim). [2]
رُوِىَ أَحْمَدُ عَنِ الْمِقْدَادِ بْنِ عَمْرُو قَالَ: “قُلْتُ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرَأَيْتَ رَجُلاً ضَرَبَنِيْ بِالسَّيْفِ فَقَطَعَ يَدَيَّ، ثُمَّ لاَذَ مِنِّيْ بِشَجَرَةِ، ثُمَّ قَالَ: “لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ”، أَأَقْتُلُهُ؟ قَالَ: لاَ. فَعُدْتُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً، فَقَالَ: لاَ. إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ مِثْلُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُوْلُ مَا قَالَ، وَيَكُوْنُ مِثْلُكَ قَبْلَ أَنْ تَفْعَلُ مَا فَعَلْتَ”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Al  Miqdad bin Amr ia berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa menurut Anda bila seorang pria menyerang saya dengan pedang dan memotong tangan saya, kemudian melarikan diri dariku berlindung dipohon, dan kemudian mengucap:Tidak ada Tuhan selain Allah ,apakah dia saya bunuh?” Beliau bersabda : Tidak, aku bertanya kembali dua kali atau tiga kali, belau bersabda : tidak, kecuali bila kamu menjadi seperti dirinya sebelum diamengucapkan apa yang dia ucapkan, dan menjadi sepertimu  sebelum kamumelakukan apa yang kamu lakukan “ (Hr.Muslim)[3]
Missi perjuangan/ jihad fi sabilillah mempunyai wilayah yang terbatas pada masalah syareat, termasuk pengucapan kalimat Laa Ilaaha illallaah, bila manusia sudah mengikrarkannya, maka jihad tidak boleh melampaui batas wilayahnya kemudian membedah isi hati manusia untuk mengetahui apakah hatinya iman atau munafiq, karena itu Nabi saw bersabda: 
لَمْ أُوْمِرُ أَنْ أَنْقَبَ عَنْ قُلُوْبِ النَّاسِ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ”(رَوَاهُ مُسْلِمٍ).
“Aku tidak diperintah untuk membedah hati manusia, dan tidak diperintah untuk mengoyak perut mereka.” (Hr. Muslim). [4]
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitabnya As Shaarimul Masluul: tidak ada khilafiyah di kalangan umat Islam bahwa bila dalam perang dan musuh masuk Islam setelah melihat pedang baik secara penuh atau terbatas, maka syah Islamnya, dan diterima taubatnya dari kekafiran, walaupun hal itu menunjukkan keadaannya bertentangan antara batiniyahnya dan lahiriyah, maka diketahui  bahwa menyatakan Islam dan taubat dari kekafiran darinya itu diterima.
b.  Wahyu Kerasulan berisi ajaran shirathul mustaqim.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang Telah diharamkan untukmu, dan Aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, Karena itu sembahlah Dia. inilah jalan yang lurus”. (QS Ali Imran 50-51).
Ayat di atas menegaskan ucapan nabi Isa as sebagai rasul, beliau diberi kitab Injil yang membenarkan ajaran kitab Taurat, menghapus sebagian hukum yang dulu diharamkan, beliau diberi mu’jizat dan menuntun pada shirat (jalan) yang lurus (mustaqim). Dari keterangan ayat di atas juga jelas bahwa shirat itu jalan hidup yang benar (haq) berdasarkan ketentuan syareat. Karena itu rasul diberi tugas untuk menegakkan hukum Allah (syareat), dan tidak beriman dengan benar seorang muslim sehingga rela menerima ketentuan syareat, Allaah berfirman :
Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah 47).
Iman mempunyai batas syareat dan hakekat batas syareat adalah ridha berhukum dengan hukum Allah dalam segala segi kehidupan baik politik, ekonomi, Sosial, ibadah dan semuanya, kemudian seorang mukmin tetap dalam keimannya selama ia memperjuangkan tegaknya syareat Islam dengan cara yang baik dan benar, walaupun ia hidup di negara bukan Islam. Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتىَّ يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (سورة النساء ٦٥)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisa 65). 
            Ibnu ‘Araby berkata: benar ayat ini menjadi dasar wajibnya berhukum dengan syareat yang dibawa Rasulullah saw, maka siapa saja yang tidak komitmen terhadap ketapan rasulullah saw dalam masalah hukum maka dia itu kufur.[5]
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه متبعا لما جئت به. (الحكيم، وأبو نصر السجزي (الأربعين للنووي:رقم 41

حديث حسن صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح)
فتح الباري جـ 13  : ويجمع ذلك كله حديث أبي هريرة ” لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به ” أخرجه الحسن بن سفيان وغيره، ورجاله ثقات وقد صححه النووي في آخر الأربعين.


Untuk menegakkan hukum Allah rasul diberi kekuasaan (sulthan) sebagai pemimpin umat dan bangsa, yang memilki pasukan sebagai kekuatan pendukung, dengan wilayah kekuasaan tertentu, ada yang menafsirkan sulthan itu sebagi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi pada masa rasulullah dahulu belum ada teknologi modern, kenyataan beliau berhasil menegakkan syareat Islam, meskipun teknologi maju tetapi tidak punya kekuasaan jangan harap syareat bisa tegak,  firman Allah pada ayat berikut ini menggambarkan bahwa perjuangan rasul itu untuk mencapai kekuasaan demi tegaknya hukum Allah, Allah berfirman:  
Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.(QS Ar Rahman  33). 
c.  Menghapus kekafiran dan kemusyrikan.
Tugas utama rasul adalah membersihkan kekafiran dan kemusyrikan, seperti telah diketahui masa kebangkitan beliau adalah dalam masa kegelapan jahiliyah dan kemusyrikan, dan dilingkungan Kabah terdapat 360 berhala yang menjadi sesembahan kaum musyrikin. Untuk menjalankan tugas itu  dibutuhkan pendukung perjuangan bermental baja dengan  keimanan pada tingkat yakin karena itu dibutukan metode/tarekat penggemblengan yang bersumber dari ajaran kenabian, wilayah kekuasaan, politik, tatik dan strategi, jangka waktu perjuangan, karena itu walaupun dalam ayat ini Allah memanggil dengan lafal “hai nabi” karena Muhammad saw adalah nabi dan rasulullah, tetapi seruan ini pertama dalam kapasitas beliau sebagai rasul, kedua beliau juga menghadapi musuh dari dalam yaitu orang-orang Islam yang imannya hanya di bibir sedangkan hatinya dalam kekufuran, yaitu kaum munafiqin, untuk mengatasi yang kedua ini diperlukan kapasitas beliau sebagai nabi. Allah berfirman:
 Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. QS At Taubah 73.
Ayat di atas adalah surat Madaniyah, artinya turun di Madinah, bermakna bahwa saat itu beliau sudah berperan sebagai rasul yang secara defakto diakui oleh seluruh penduduk Madinah sebagai pemimpin dimana ketika itu menjadi sentral Islam, berhadapan dengan Mekah yang menjadi sentral kekafiran dan kemusyrikan. Langkah seorang rasul adalah jejak langkah kepala negara yang bersendikan syareat, karena itu sebagai rasul beliau mempersatukan bangsa Arab, membuat perjanjian, mengangkat gubernur atau wali kota, menarik jizyah, dan menyurati para kepala negara, mengadili perkara, dan menjatuhkan hukum, dan lain-lain. Dengan keberhasilan beliau dalam menundukkan Mekah yang disebut dengan fathu Makkah, maka kekafiran dan kemusyrikan berhasil beliau hapuskan dari jazirah Arab.
Kerasulan  dan kenabian sepeninggal beliau telah tertutup, tetapi fungsi keduanya tetap dilanjutkankan, khalifah berfungsi sebagai penerus fungsi kerasulan dan ulama meneruskan fungsi kenabian, karena itu ketika Abu Bakar As Shidiq menjadi khalifah, melaksanakan kuwajiban itu, disebutkan dalam hadits:       
حَدَّثَنَا ‏ ‏قُتَيْبَةُ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏اللَّيْثُ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عُقَيْلٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏الزُّهْرِيِّ ‏ ‏أَخْبَرَنِي ‏‏عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ‏ ‏قَالَ ‏َمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَاسْتُخْلِفَ‏ ‏أَبُو بَكْرٍ ‏ ‏بَعْدَهُ كَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ ‏ ‏الْعَرَبِ ‏ ‏فَقَالَ ‏ ‏عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ‏ ‏لِأَبِي بَكْرٍ ‏ ‏كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ‏ ‏عَصَمَ ‏ ‏مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ قَالَ ‏ ‏أَبُو بَكْرٍ ‏ ‏وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الزَّكَاةِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي ‏ ‏عِقَالًا ‏ ‏كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ ‏‏فَقَالَ ‏ ‏عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ‏ ‏فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ ‏ ‏أَبِي بَكْرٍ ‏ ‏لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏أَبُو عِيسَى ‏ ‏هَذَا ‏ ‏حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ‏ ‏وَهَكَذَا ‏ ‏رَوَى ‏ ‏شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏الزُّهْرِيِّ ‏ ‏عَنْ ‏‏عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏وَرَوَى ‏ ‏عِمْرَانُ الْقَطَّانُ ‏ ‏هَذَا الْحَدِيثَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏مَعْمَرٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏الزُّهْرِيِّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي بَكْرٍ ‏ ‏وَهُوَ حَدِيثٌ خَطَأٌ وَقَدْ خُولِفَ ‏ ‏عِمْرَانُ ‏ ‏فِي رِوَايَتِهِ عَنْ ‏ ‏مَعْمَرٍ ‏ (رواه الترمذي)
Qataibah telah berbicara kepadaku, Al Laits dari ‘Uqail dari Az Zuhriy telah mengabariku ‘Ubaid bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari Abu Hurairah  ia telah berkata, sesudah Rasulullah saw wafat, dan sesudahya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah, maka menjadi kafirlah orang orang kafir dari Arab, maka Umar bin Khathab berkata kepada Abu Bakar, “ apakah kamu tidak akan memerangi manusia, padahal Rasulullah saw telah bersabda; aku diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaha illallaah , maka bila mereka telah mengucapkannya, terjagalah darah mereka, dan harta mereka kecuali dengan [hukum yang sesuai] haknya, dan perhitungan [amalnya] terserah Allah.” Abu Bakar menjawab: “ Demi Allah sungguh aku akan memerangi siapa yang memisah misahkan antara zakat dan shalat, sungguh zakat itu haq harta demi Allah bila mencegahku [menahan zakat] yang telah mereka bayarkan pada masa rasulullah saw maka saya akan memerangi mereka karena keengganan mereka.” Maka berkatalah Umar bn Khathab,” maka demi Allah apa yang aku ketahui tentang dia kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berjuang, maka aku menjadi tahu bahwa dia itu al Haqq [kebenaran].”  Abu ‘Isa berkata  ini hadits baik-shahih, dan seperti iu juga riwayat Syu’aib bin Abu Hamzah dari Az Zuhriy dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, dari Abi Hurairah. Dan diriwayatkan oleh ‘Imran al Qath thaan, ini hadits dari Ma’mar, dari Az Zuhriy, dari Anas bin Malik, dari Abu Bakar, dan itu hadits yang salah dan telah diganti oleh ‘Imran dalam riwayatnya dari Ma’mar.[ hr. Imam At Tirmdzi].
Syarah : Abu Bakar As Shidiq ra adalah khalifah yang terpilih oleh kaum muslimin sepeninggal Nabi saw. sesudah Nabi saw wafat banyak orang yang murtad (keluar) dari Islam, mengaku sebagai Nabi [nabi palsu] dan orang-orang yang menolak membayar zakat. Karena itu Abu Bakar memerangi mereka atas dorongan Umar bin Khathab ra. Abu Bakar mempunyai sifat lemah lembut/kasih sayang, karena itu Umar bin Khthab kuatir bila Abu Bakar akan membiarkan orang orang yang ingkar tanpa diberi tindakan tegas.    
d.  Amal ibadah bersifat wajib.
Rasul mengajarkan ibadah wajib, bila dipenuhi baru pas belum ada kelebihannya, bila ditinggalkan atau larangannya dilanggar menyebabkan terkena hukum dunia, dan ibadah wajib ini menjadi pembatas antara iman dan kekafiran, karena itu bila ditinggalkan, seseorang menjadi kafir, sebagaimana sabda nabi tentang shalat wajib. Beliau bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ – ‏(‏م د ت ه‏)‏ عن جابر  ‏(‏صح‏)‏٣١٧٠
Batas antara sesorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). [6]
Demikian juga bagi yang mampu berzakat tetapi tidak mau mengeluarkan zakatnya maka gugur imannya dan ia menjadi syirik sebagimana firman Allah :
dan Kecelakaan besarlah bagi orang-orang musyrik,  (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS Fus Shilat 6-7).
Batas iman dari segi syareat yang bersifat larangan bila dilanggar dapat menghilangkan iman Disebutkan dalam Hadits :
عَنْ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏قَالَ‏ ‏قَالَ رَسُولُ اللَّهِ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ َسَلَّمَ ‏‏لَا يَزْنِيالزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ‏‏السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ  وَلَكِنَّ التَّوْبَةَ مَعْرُوضَةٌ ‏‏‏﴿ رواه الترمي ﴾
Dari Abiy Hurairah ia berkata. Telah bersabda Rasulullah saw, “tidaklah berzina seorang pezina ketika ia berzina dalam keadaan iman, dan tidak mencuri seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan iman, tetapi taubat itu dihadapkan [kepada Alah].” (Hr. Tirmidzi).[7]
Hadits di atas mengandung pengertian bahwa bila seorang berzina atau mencuri maka hilanglah imannya, dan tidak akan ditemukan lagi sehingga ia bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya, bila ia bertaubat maka iman akan kembali masuk kedalam hati. Yang bahaya adalah bila belum sempat bertaubat kemudian meninggal maka matinya suu-ul khatimah, yaitu mati tanpa berbekal iman.
Ibadah adalah pengabdian hamba kepada Tuhannya, ibadah pada hakekatnya mempunyai dua bentuk, bentuk ritual dan non ritual, bentuk ibadah ritual yang diwajibkan seperti shalat, puasa, zakat dan haji, bentuk ritual yang dilarang, seperti semua perbuatan yang dilarang (haram), dan bentuk non ritual yang tinggi derajadnya yaitu jihad fi sabilillah, disebutkan dalam hadits :
حَدَّثَنَا ‏ ‏عُبَيْدُ بْنُ أَسْبَاطِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ الْكُوفِيُّ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبِي ‏ ‏عَنْ ‏ ‏هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏ابْنِ أَبِي ذُبَابٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏قَالَ ‏مَرَّ رَجُلٌ مِنْ ‏ ‏أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏بِشِعْبٍ فِيهِ ‏ ‏عُيَيْنَةٌ مِنْ مَاءٍ عَذْبَةٌ فَأَعْجَبَتْهُ لِطِيبِهَا فَقَالَ لَوْ اعْتَزَلْتُ النَّاسَ فَأَقَمْتُ فِي هَذَا‏ ‏الشِّعْبِ ‏ ‏وَلَنْ أَفْعَلَ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏فَقَالَ ‏ ‏لَا تَفْعَلْ فَإِنَّ مُقَامَ أَحَدِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ سَبْعِينَ عَامًا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ الْجَنَّةَ ‏ ‏اغْزُو فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ‏ ‏فَوَاقَ نَاقَةٍ ‏ ‏وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ‏قَالَ ‏ ‏أَبُو عِيسَى ‏ ‏هَذَا ‏ ‏حَدِيثٌ حَسَنٌ (رواه التمذي) حسن.
‘Ubaid bin Asbath bin Muhammad al Qurasyiy al Kufiy, telah berbicara kepadaku, bapakku telah berbicara, dari Hisyam bin Sa’di, dari Sa’iid bin Abi Hilal dari Abu Hurairah, ia telah berkata, seorang laki laki dari shahabat Rasulullah saw  telah berjalan melalui celah yang terdapat [mata] air tawar maka tertariklah ia akan keindahannya lalu berkata, “alangkah baiknya bila aku beruzlah [menyendiri]ditempat ini, tetapi tidak akan kulakukan hingga aku menta idzin Rasulullah saw.” maka disebutkanlah hal itu kepada Rasulullah saw kemudian beliau bersabda; “jangan kau lakukan, karena sesungguhnya derajad salah seorang dari kalian dalam perjungan di jalan Allah itu lebih utama dari 70 tahun shalat yang dilakukan dirumahnya, tidak kah kalian suka dengan pengampunan Allah dan memasukkan kalian ke dalam surga ? berjuanglah di jalan Allah, barang siapa berjuang di jalan Allah dengan keadaan yang bersih [niatnya] wajiblah baginya surga.” Berkata Abu ‘Isa ini Hadits Hasan[baik]. [riwayat Imam al Tirmidzi].
Islam mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk beramal shalih dalam kehidupan bermasyarakat dengan amal perbuatan yang bermanfaat kepada manusia lainnya, baik dengan ilmunya, dengan tenaga, juga dengan hartanya. Amal yang tinggi nilainya yitu berjuang di jalan Allah, yang meliputi memelihara jamaah dan imamah, memahamkan syareat kepada umat, menegakkan amar makruf [menyuruh berbuat baik] dan nahi mungkar [mencegah kejelekan] di tengah tengah masyarakat, uzlah (menyingkir dari keramaian) untuk beribadah tidak ada unsur perjuangan (jihad), karena tidak ada tantangan selain diri sendiri.
 NABI
a. Keimanan pada yang ghaib.
Nabi diberi wahyu hal-hal ghaib, thariqul mustaqim yaitu jalan hidup yang lurus secara hakekat, diberi hikmah, dan barokah.
اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ الآية:٣
 (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki[16] yang kami anugerahkan kepada mereka. (QS Al Baqarah 3)
Imam Qatadah berkata: Hai manusia bila kamu tidak menginginkan berbuat baik selain dari kegiatan maka sesungguhnya dirimu itu condong pada kebosanan, terputus, dan menyimpang, tetapi orang mukmin itu tanggung jawab, kuat, tegas, tegak kepada Allah siang dan malam, demi Allah orang mukmin itu tidak akan bergeser dari ucapannya  “Allah Tuhanku” baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, hingga mereka dikabulkan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Lafal “bil ghaib” menurut kalam Arab adalah semua yang tersembunyi dari padamu, karena itu matahari tenggelam dikatan “matahari tersembunyi” demikian pula hutan tempat bersembunyi hewan-hewan disebut Ghiyaabah, Ghaib itu sesuatu yang tersembunyi dari penglihatan.
Adapun beberapa ta’wil ghaib ada yang mengatakan qadha dan qadar, hakekat Alquran, ada yang mengatakan semua yang dikhabarkan rasulullah yang tidak dicapai akal seperti; kiamat, siksa kubur, hari berkumpulnya manusia,  hari kembali, shirat, timbangan, surga dan neraka, ada yang mengatakan semua rukun iman, dan Ibnu Mas’ud mengatakan : tidak ada yang lebih utama bagi seorang mukmin dari beriman kepada yang ghaib, kemudian ia membaca ayat ini (Al Baqarah ayat 3).           
Yang ghaib itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera dan tidak mampu dideteksi alat teknologi. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, Karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. Ghaib ada  beberapa macam.
1. Ghaib Hakiki.
Ghaib hakiki (ghaib yang sebenarnya) yaitu ghaibnya  Dzat Allah SWT, karena keberadaannya tidak mampu dicapai oleh seluruh mahluknya dengan penglihatan dan teknologi sehebat apapun, tetapi pandangan yang maha Ghaib itu meliputi seluruh mahluknya tanpa kecuali karena itu Allah berfirman:
لاَ تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الأنعام: ٠٣ا)
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. ( QS Al An’am 103).
Hubungan antara Allah dengan manusia dan semua mahluknya karena itu dengan melalui kalam dibalik hijab seperti Allah berbicara kepada nabi Musa as, perantaraan malaikat seperti yang banyak dilakukan Jibril kepada Nabi Muhammad saw, mimpi seperti perintah Allah kepada nabi Ibrahim as, ilham (pesan ke dalam hati) seperti Ibu Musa yang rela menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil. Allah berfirman :   
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أًوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلُ رَسُوْلاً ….[الشورى: ا٥]
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS As Syuraa 51)
Pandangan manusia di dunia tidak mampu mencapai Dzat Allah tetapi di surga Allah akan menunjukan dirinya (Dzatnya) dalam wujud yang maha Indah dan elok hingga manusia dapat melihatnya sebagai suatu nikmat paling besar. Allah berfirman :
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةً” [القيامة: 22-23]
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (QS Al Qiyamah 22- 23).
2. Ghaib Relatif.
Ghaib relatif dalam pengertian mahluk itu dapat melihat mahluk lainnya meskipun ia ghaib, atas idzin Allah, karena itu manusia bisa diperlihatkan malaikat, jin, syetan, bahkan kejadian yang belum terjadi seperti pada nabi Khidzir  as. Rasulullah saw secara pribadi pernah melihat bentuk asli malaikat Jibril hingga dua kali, pertama pada awal-awal menerima wahyu, kedua ketika Isra Mi’raj beliau melihat di Sidratul Muntaha,  Allah menegaskan:
“وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ”[التكوير:٢٣].”وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى [النجم:٣ا]
Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. (QS At Takwir 23). Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (QS An Najm 13).
Mahluk ghaib yang derajadnya di bawah malaikat seperti golongan jin lebih mudah dideteksi dengan panca indera manusia atau dengan indera keenam yang merupakan perangkat batin dalam diri manusia, Karena itulah nabi Sulaiman as diberi kemampuan mendaya gunakan jin untuk bekerja dengan mengabdi kepadanya. Allah berfirman:
Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakiNya, Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam, Dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu.(QS Shaad 36- 38).  
Mempercayai yang ghaib hukumnya wajib, mengetahui mahluk yang ghaib hukumnya jaiz (boleh), dan bila dapat memperkuat iman hukumnya sunat, adapun manfaat mengetahui yang ghaib adalah :
Pertama menambah kuatnya iman, sebab mengetahui itu proses yang dicapai melalui pengamatan atau penglihatan sebagai salah satu bentuk pembuktian, hal yang tidak berbeda jauh dengan orang yang diberi kabar suatu kejadian ia bisa percaya dan bisa tidak percaya, tetapi bila kemudian kejadian itu ia lihat sendiri  maka ia menjadi mengetahui dan tidak ada istilah tidak percaya, karena sudah yakin.
Kedua mampu menyikapi dengan benar, bila yang ia lihat itu syetan atau jin jahat, maka segera berlindung kepada Allah dan tidak mengikuti ajakannya, sebaliknya bila malaikat maka akan menambah keyakinan dan kesabaran mengamalkannya karena kehadirannya merupakan alamat diberkahi dan dirahmati Allah, sebagaimana keterangan nabi saw tentang malaikat.
Ketiga dapat membedakan hakekat yang hak dan yang batil, sehingga tidak akan teripu oleh tipu daya syetan. Untuk memahami dan mengetahui hal yang ghaib harus dengan ilmu, proses tarekat yang lurus, mujahadah untuk membersihkan hati, dan semua terjadi hanya dengan  idzin  Allah SWT. Bila melihat ghaib tanpa didukung ilmu dan proses tarekat yang lurus maka manusia akan tertipu oleh pengakuan dan penjelmaan bersifat imitasi yang dilakukan syetan atau jin kafir.
Salah satu dari kelemahan manusia adalah tidak mampu menembus masalah ghaib, sehingga manusia dalam menyikapi sesuatu yang ghaib itu ada 4 macam , pertama mengimani, kedua meyakini, ketiga meragukan dan keempat mengingkari.
Banyak hal yang diketahui oleh Rasulullah saw mengenai hal ghaib, jauh sebelum perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, beliau sudah tahu bahwa manusia itu dicipta dari tulang ekor dan akan dihidupkan kembali dari tulang ekornya, hadits terkait hal ini baru pada era modern terbukti kebenarannya melalui uji labiratoris, atau tentang lalat yang sebelah dari kedua sayapnya mengandung penyakit dan sebelah lainnya mengandung obat penawarnya.
Rasulullah saw juga mengetahui hakekat keimanan seseorang,  dalam kapasitas sebagai nabi yang mengetahui ilmu hakekat pernah dikonfirmasi oleh seorang sahabat yang mengatakan bahwa temannya gigih di medan jihad hingga para sahabat salut kepadanya dan mengira ia adalah ahli surga. Ketika hal itu dikonfirmasikan kepada Rasulullah saw ternyata beliau mengatakan hal yang bertentangan dengan shahabat itu karena shahabat itu hanya melihat secara syareat lahiriyah dan beliau mengatakan berdasarkan hakekat yang beliau ketahui yang belum terjadi rasulullah mengatakan bahwa kawannya itu ahli neraka, mendengar demikian, shahabat itu mengatakan bahwa ia kawannya, jadi tahu persis apa yang dilihatnya, karena tidak percaya apa yang sampaikan Nabi saw, ia mengamati kawannya yang dikatakan Nabi saw sebagai ahli neraka, maka sesudah berakhirnya perang, orang laki-laki itu luka-luka parah, kemudian di bawa ke perkemahan, ternyata laki-laki itu tidak sabar dengan luka-lukanya dan shahabat itu melihat sendiri, ia tewas bunuh diri dengan pedangnya, maka benarlah Allaah dan Rasul-Nya, melihat hal itu shabat tadi menemui rasulullah dan membaca syahadat dihadapan nabi, untuk memperteguh imannya yang tadinya belum yakin terhadap kebenaran sabda nabi. Karena itu Nabi saw bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلٌ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فِيْمَا يَبْدُوْ لِلنَّاسِ، وَهُوَ مَنْ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرُّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ، فِيْمَا يَبْدُوْ لِلنَّاسِ،وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ). 76 – بَابُ: لاَ يَقُوْلُ فُلاَنُ شَهِيْدٌ 2742
“Sesungguhnya ada orang yang benar-benar beramal dengan amalan ahli surga menurut apa yang terlihat manusia padahal ia adalah ahli neraka, dan ada orang yang benar-benar beramal dengan amalan ahli neraka menurut apa yang terlihat manusia padahal ia adalah ahli surga.” ( Hr. Bukhari ) [8]
Sempurnanya Islam itu karena memiliki ajaran yang bersumber dari risalah nubuwwah, sehingga Islam memiliki kedalaman ilmu hakekat dan kekuatan iman, sehingga dapat mengatasi berbagai tantangan kehidupan sepanjang zaman.
3. Ghaib mustatir.
Ghaib mustatir (tertutup) yaitu wujud zahir atau fisik tidak terlihat mata karena pandangan terhalang oleh obyek lain berupa benda atau energi. Dasar dari ghaib mustatir adalah firman Allaah
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُوْرًا ( الإسراء ٤٥)
Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, (QS Al Isra 45)
Dari Asma bin Abu Bakar ra, ia berkata: ketika surat Tabbat yada Abi lahabiu watabb turun, datanglah Al ‘Aura Ummu Jamil binti Harb, ia berbicara, dan tangannya membawa batu pipih (tajam) pada perkakas kemudian ia berkata: “hina orang yang menentang kami, urusannya kita abaikan, dan agamanya kami benci”, saat itu Nabi saw duduk di masjid dan bersamanya Abu Bakar ra, setelah Abu Bakar melihatnya maka berkata: Wahai Rasulullah ia telah berhadapan denganmu dan saya kuatir meninggalkanmu! Rasulullah saw bersabda: Sungguh dia tidak melihatku, beliau membaca ayat Quran dan berpegang teguh dengannya seperti yang beliau katakan. Beliau membaca surat  Al Isra ayat 45. Maka Al ‘Aura berhenti didepan Abu Bakar ra dan tidak melihat Rasullah saw kemudian berkata: Hai Abu Bakar saya beritahu bahwa kawanmu itu mengejekku! Abu Bakar berkata: tidak demi Tuhan pemilik rumah ini, tidak mengejekmu. Ia berkata : maka ia mundur sambil berkata: Quraisy sudah tahu bahwa sesungguhnya aku puteri tuannya.
Sa’id bin Jubair ra berkata: ketika surat Tabbat yada Abi lahabiu watabb turun, datanglah Al ‘Aura Ummu Jamil isteri Abu Lahab kepada Nabi saw dan Abu Bakar bersamanya, maka Abu Bakar berkata: Kalau ia menuju kepadamu mungkin akan mendengarmu dan menganiayamu, sungguh dia itu wanita yang kejam. Maka Nabi saw bersabda: sesungguhnya Dia akan mendindingi antara aku dan dia maka dia tidak akan melihatnya, kemudian Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar: Hai Abu Bakar kawanmu itu telah menghinaku! Abu Bakar berkata: demi Allah tidak mengucapkan syair dan tidak mengatakannya. Maka Ummu Jamil berkata: dan sungguh kalau kamu orang yang benar, kemudian ia mundur dan kembali. Kemudian Abu Bakar nerkata: wahai Rasulullah apakah ia tidak melihatmu? Beliau berkata: tidak selama malikat ada di antara aku dan dia menutupiku hingga ia pegi.
Ka’ab ra: dalam ayat ini Nabi saw ditutup dari kaum musyrikin dengan 3 ayat, ayat dalam surat Al Kahfi 57, dalam surat An Nahl 108, dan surat Al Jatsiyah ayat 23, maka Nabi saw bila membaca ayat-ayat itu ditutup dari kaum musyrikin. Hal ini juga di alami seorang dari penduduk Syam ketika ia datang ke negeri romawi dan tinggal di sana, kemudian ia keluar untuk bekerja dengan membaca ayat ini, ketika di jalan bersama orang orang mereka tidak melihatnya. 
Qurthuby: pada surat Yasiin pada ayat ke 6 disebutkan dalam Sirrah pada bab hijrah nabi dan tempat tidur yang digantikan oleh Ali disebutkan  bahwa saat Nabi saw keluar mengambil tanah dengan tangannya maka kaum musyrikin tidak melihatnya, kemudian tanah itu di sebarkan pada kepala mereka dan beliau membaca ayat dari ayat 1 sampai 6, maka tidak tersisa seorangpun dari mereka kecuali semuanya ditaburi tanah di kepalanya, kemudian beliau pergi.
Dan di sebutkan : ayat ini turun pada kaum yang suka menganiaya nabi saat membaca Al quran, dan mereka itu adalah Abu Jahal, Abu Sofyan, An Nadhar bin Al Harits, Ummu Jamil isteri Abu Lahab dan Huwaithib, maka Allah menjadikan dinding bagi nabi maka mereka tidak dapat melihatnya.
4.  Ghaib Muhajabah.
Ghaib Muhajabah yaitu kondisi ketidak mampuan melihat suatu obyek ghaib karena ada hijab dalam hatinya, hijab ini berujud noda hitam yang terjadi karena perbuatan dosa, hal ini terjadi pada orang mukmin bila sering melakukan dosa maupun orang kafir, dalam Quran disebutkan :
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ، كَلاَّ إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوْبُوْنَ، (سورة المطففين ٤ا – ٥ا)
Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup  Tuhan mereka. (QS Al Muthaffifiin 14 -  15)
Lafal raana pada ayat di atas berarti noda hitam yang muncul setiap melakukan perbuatan dosa, bila manusia tidak betaubat, noda dosa ini semakin banyak dan menghitamkan hatinya maka menjadi hijab yang menutup hatinya. Diceritakan hadits dari Abu Hurairah dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نَكْتَتْ فِي قَلْبِهِ نَكْتَةً سَوْدَاءً، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ وَتَابَ، صَقَلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ عَادَ زَيَّا فِيْهَا، حَتىَّ تَعْلُوْ عَلَى قَلْبِهِ، وَهُوَ(الرَّانُ) الَّذِي ذَكَرَ اللهُ فِي كِتَابِهِ: “كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. ‏(رواه ا‏حمد و الترمذي و النسائ و بن ماجه و ان حبان و الحاكم ‏)‏ هذا حديث حسن صحيح.
Sungguh hamba itu bila berbuat kesalahan timbul noda hitam dalam hatinya,  maka bila ia berhenti, memohon ampun dan bertaubat kepada Allah, hatinya menjadi bersih, tetapi bila kembali bersalah, dipakaikan (dosanya tadi) dalam hatinya hingga memenuhi hatinya, itulah Ar Raan yang di sebut Allah dalam kitab sucinya : kalla bal raana ‘alaa quluubihim maa kaanuu yaksibuun. (Hr. Ahmad, Tirmidzi, Nasaie, Ibnu Majah, Ibnu Hibbaan dan Al Hakim dengan sanad hasan shahih). [9]         
Lafal “kalla” berarti jangan sekali-kali yang ditujukan kepada kaum kafir karena mereka telah mendindingi diri mereka dengan kekafiran dan dosa di dunia maka di akherat kelak Allah akan menutup mereka (Mahjuubuun) dalam neraka, sehingga tidak akan melihat Allah. Sebaliknya orang beriman yang selalu menjaga dari perbuatan dosa dan membuka hatinya untuk berkomunikasi kepada Allah dalam ibadahnya maka di surga kelak tidak akan ada dinding antara mereka dengan Allaah sehingga dapat melihat Tuhannya sebagaimana firmannya Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. QS: Al Qiyamah ayat 22-23.
Dari sinilah teori membuka hijab batin, yaitu dengan amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas, karena amalnya itu akan memancarkan cahaya (nur Allah) yang menerangi kegelapan hatinya sehingga memiliki kepekaan batin dan perasaan sebagai penerima ilmu hikmah dan ilham dari Allah. terkait hal ini nabi bersabda:   
فَإِذَا عَمَلَ الْمُؤْمِنُ عَمَلاً ثَارَ فِيْ قَلْبِهِ نُوْرٌ (رَوَاهُ طَبْرَنِي) عَنْ سَهَلِ
بْنِ سَعْدٍ ۹٢۹٦)
maka jika seorang mukmin beramal memancarlah sinar dalamhatinya. (Hr. Thabrani dari Sahal bin Sa’id). [10]


[1] Shahih Bukhari no 25 bab Iman no 2786
[2] Shahih Muslim bab iman 96 hadits no 159.
[3] Ibid  95 hadits no 155.
[4] Shahih Muslim 96- 158.
[5] Tafsir Qurthuby surat An Nisa.
[6] Al Jaami’us Shaghir 3170.
[7]  Sunnan Tirmidzi.
[8] Shahih Bukhari, pada bab no 76 syahiid, no 2742).
[9]  Al Jaami’us Shaghiir 2070.
[10] . Jam’ul Jawaami’u no 9296..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar