Selasa, 15 Januari 2013

Ramai2 Merampok Negara (BLBI)

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermula dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memberikan fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) pada Desember 1997. Kebijakan yang diambil, agar bank-bank bisa tetap bertahan dan beroperasi akibat masalah perbankan di masa krisis moneter.

Dibutuhkan total biaya Rp 600 hingga Rp 650 triliun dalam bentuk obligasi dan surat utang untuk proses restrukturisasi perbankan. Jumlah itu meliputi BLBI (Rp 144,536 triliun), dana program penjaminan (Rp 53 triliun), dan dana program rekapitalisasi perbankan (Rp 350-400 triliun).


Untuk menyelesaikan krisis ekonomi, pemerintah Indonesia kemudian meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Maka pemerintah kemudian menanda­tangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998. Pemerintah juga memberikan jaminan atas deposito (blanket guarantee) melalui Keppres No. 26/ 1998 pada tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya, selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik menjadi dua kali lipat. Hal ini berarti situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.[7]

Sebelumnya, pada tahun 1985 pemerintah pernah mengucurkan ratusan miliar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) melalui Kredit Pembauran untuk Industri tanpa agunan kepada para pengusaha besar Indonesia. Hingga tahun 1998, dana KLBI yang dikucurkan kepada para konglomerat tersebut adalah sekitar Rp 100 triliun. Triliunan dana BLBI itu hingga sekarang sulit dilacak karena Gedung BI di Jl. Thamrin, Jakarta, yang menyimpan dokumen pengucuran BLBI, hangus terbakar pada Desember 1997. Kemudian Menteri Keuangan J Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Andrianus Mooy memberlakukan kebijakan Paket Oktober (Pakto) pada 1988. Paket ini merupakan upaya Iiberalisasi dunia perbankan secara total dan spektakuler. Dengan Pakto I988 maka siapa pun yang menjadi warga negara Republik Indonesia boleh mendirikan bank umum hanya dengan menyetor modal sebesar Rp 10 miliar. Hasilnya, sekitar 200 bank baru lahir dan mayoritas pendirinya adalah para konglomerat nasional. Sayangnya, para pengusaha besar yang tumbuh dalam iklim Orde Baru itu tidak memahami fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan menjadi investasi yang produktif dan bahwa persyaratan pokok bekerjanya bank ialah prudence. Mereka hanya pandai dalam bidang pemasaran sehingga bank-bank yang baru berdiri tersebut berhasil meyakinkan para nasabah agar menyimpan uangnya di bank-bank mereka.

Modal Rp 10 miliar tersebut bisa mereka lipatgandakan menjadi dana triliunan rupiah. Narnun parapemilik bank itu tidak paham bahwa dana tersebut milik masyarakat. Mereka tidak memahami bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis dan adanya risiko kredit macet besar. Mereka melakukannya secara sembrono dan tidak melalui etika pengelolaan yang baik. Para konglomerat itu rnenggunakan dana masyarakat justru untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri dan kelornpok usahanya secara besar-besaran demi membentuk sebuah konglomerasi bisnis. Karena uang masyarakat yang berhasil dihimpun justru disalurlan pada kelompok usaha milik sendiri yang disertai mark-up, maka banyak kredit yang macet di tangan para konglomerat. Tapi karena bank pemberi kredit juga miliknya, maka dengan mudah laporan keuangan dapat direkayasa sehingga terlihat sehat.

Dalam perjalanannya, bank-bank konglomerat tersebut kalah kliring, tetapi BI menyelamatkannya melalui fasilitas diskonto. Kemudian mereka kalah kliring lagi, dan kembali diselamatkan dengan fasilitas diskanto kedua. Ketika terjadi krisis moneter pada 1997, maka kebobrokan sistem perbankan nasional pun terkuak.

Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia memang dapat memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang rnengalami kesulitan likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp 371 rniliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi Bantuan Likuiditas Bank lndonesia (BLBl) mencapai angka Rp 1,2 triliun. Pada Juli 1997 posisi BLBl rnenjadi Rp 1,4 triliun, dan kemudian terus mengalami kenaikan, apalagi ketika Kurs bebas diterapkan pada Agustus 1997. Pada waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar B1 tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Unlum MPR Maret 1998. Rapat Direksi Bank Indonesia pada 15 Agustus 1997 menerjemahkan pengarahan presiden tersebut dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenailan penyaluran BLBl sebesar Rp 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp 5,2 triliun pada awal September 1997.

Pada Oktober 1997 posisi BLBl naik menjadi Rp 8,6 triliun sebagai akibat tindale lanjut Sidang Kabinet Ekuwasbang dan Prodis yang memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat yang mengalami mismatch. Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank lndonesia untuk terus menyalurkan bantuan likuiditas. Namun sampai di sini pertumbuhan BLBl selama empat bulan pertama masa krisis belum menunjukan lonjakan yang sangat fantastis.

Perubahan luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Posisi BLBl naik menjadi Rp 32 triliun hanya dalarn waktu sebulan. Jumlah penerirna BLBI pun naik dari 13,1 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan sudah mencapai Rp 47,l triliun. Kemudian jajaran direksi BI waktu itu mengirim surat kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana B1 untuk mengatasi masalah saldo debet yang dialami perbankan nasional akibat rush. Surat itu antara lain berbunyi:

“Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perhankan, RI kiranya disetujui akan menganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK), sesuai dengan memo terlampir.” [8]

Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat dari Kantor Sekretariat Negara yang berkualifikasi “rahasia dan sangat rahasia” No. R-183/M/Sesneg/12/1997. Surat tersebut antara lain menyebutkan:

“Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk menganti saldo debet bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr. Gubernur BI. Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan hangkrut.”[9]

Isi surat ini pada dasarnya menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar Uang lausus (SBIUK). Sebelumnya, pada 9 Desember 1997 direksi Bank Danamon menemui direksi BI. Hasilnya, Bank Danamon disetujui untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6 triliun. Surat dari direksi BI dan surat dari presiden pada waktu itu kiranya menjadi kunci siapa sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap kasus dana BLBI.

Ketidakpercayaan masyarakat dan ketidakmampuan bank membayar kewajiban-kewajibannya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia yang tengah dilanda badai krisis moneter. Ketika keadaan ekonomi tidak juga membaik, BI sebagai otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau konglomerat. Atas dasar inilah pemerintah yang telanjur menandatangani Letter of Intent pertama dengan Dana Moneter lnternasional (IMF) pada Januari 1998 mengeluarkan Keppres No. 24 dan 26/1998. Keppres ini menjamin dana masyarakat di perbankan nasional dan jaminan atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur internasional. Peraturan pemerintah tersebut disetujui oleh BI melalui pengucuran dana BLBI kepada 54 bank nasional sebesar Rp. 164,54 triliun (hingga Januari 1999). Para konglomerat yang menerima BLBI antara lain Sjamsul NursaIim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Soedono Salim (Bank Central Asia) Rp 26,596 triliun, Usman Admadjaja (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob Hasan (Bank Umum Nasional) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (Bank Harapan Sentosa) Rp 3,866 triliun.

Dana BLBI dikucurkan ke sejumlah bank dalam beragam bentuk. Ada yang dalam bentuk saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas dislonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas SBPUK, fasilitas baru diskonto, fasilitas dana talangan valas, maupun fasilitas dana talangan rupiah. Adapun rincian para penerima BLBI adalah 5 Bank Take-Over (BTO) menerima Rp 57,639 triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) Rp 57,687 triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) Rp 17,320 triliun, dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL) Rp 1 1,888 triliun.

Celakanya, ternyata Rp 84,5 dan Rp 164,54 triliun dana BLBI yang telah dikucurkan BI pada saat itu justru diselewengkan oleh para pemilik bank untuk kepentingan bisnis dalam grup mereka sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, melakukan eskpansi kredit, pembukaan cabang baru, bahkan untuk menggoyang nilai rupiah. Bahkan sekitar Rp 144,54 triliun dari dana BLBI malah dialihkan kepada pemerintah (sebagai utang) sehingga menjadi beban APBN yang hams ditanggung rakyat.

Akibat Keppres No. 24 dan 26 tahun 1998 maka pemerintah terjebak dalam program rekapitalisasi perbankan nasional sebesar Rp 400 triliun. Tapi karena pemerintah tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi (Surat Utang Negara) yang dibebankan kepada APBN untuk merekap bank pemerintah dan bank swasta yang tidak sehat serta untuk mengganti dana BLBI. Keseluruhan nilai pokok obligasi yang menjadi beban APBN tersebut mencapai Rp 650 triliun. Di sisi lain, pada Juli 1998, pemerintah membayar utang bank swasta nasional sebesar 1 miliar dollar AS kepada bantuan luar negeri tanpa verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang kembali menguntungkan para pengusaha dan konglomerat yang tersangkut BLBI. Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi ha1 ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para pengusaha, konglomerat, dan kepentingan politik penguasa. Pada Maret 1998 Badan Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini diikuti dengan rush lanjutau dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret – April nilai BLBl melonjak dari Rp 31 triliun menjadi hampir Rp 135 triliun. Selama April – September 1998  saldo negatif bank-bank di bawah BPPN- justeru terus naik.

Belakangan uang ratusan triliun yang mengalir ke bank-bank tersebut macet, sejumlah bank tidak mampu membayar kembali utangnya. Penyebabnya, dana yang dikhususkan untuk penyehatan perbankan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan konglomerat dan sejumlah bank yang bermasalah itu adalah milik konglomerat yang bersangkutan juga. Akibatnya, dana perbankan dari bank sentral hanya menjadi akal-akalan pebisnis besar untuk mendanai usahanya sendiri.

Pemerintah kemudian bermaksud menarik kembali dana BLBI dan memberikan beberapa cara penyelesaian utang BLBl untuk para debitor. Pemerintah memberikan beberapa alternatif penyelesaian masalah BLBI untuk para mantan pemilik bank yang disesuaikan dengan kondisi keuangan mereka masing-masing. Cara-cara penyelesaian itu adalah:

Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur atau obligor yang mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.
Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai perusahaannya tidak cukup untuk membayar utang, dan pembayaran kekurangannya harus dilakukan dengan jaminan pribadi.
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU) yang dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktik perbankan yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan aset.
BPPN menjadi pihak yang mengurus masalah tersebut. Selama periode Juni-September 1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA (Master of Settlement Acquisition Agreement) yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Isinya adalah ketentuan bahwa Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) bertambah menjadi Rp 52,7 triliun. Sayangnya, data tersebut diaudit bukan oleh auditor independen melainkan dihitung sendiri. Langkah-langkah tersebut di kemudian hari terbukti tidak efektif karena pars konglomerat. ingkar janji dan tidak mengembalikan danaBLB1. Di sisi lain, penyelesaian melalui prosedur MSAA dan MRA juga tidak kunjung usai. Penyerahan aset oleh obligor baru mulai dilakulan pada 1999. Aset tersebut kemudian dihitung oleh lembaga yang ditunjuk BPPN yaitu Lehman Brothers. Hasilnya, total nilai aset adalah Rp 52,6 triliun yang lemudian dibayarkan beserta uang tunai sebesar Rp 100 miliar. Berdasarkan MSAA, setelah aset itudiserahkan mala utang pun dianggap lunas. Pada masa inilah RPPN membuat. kesepakatan akhir yang memuat release und discharge dengan BDNI (Mei 1999) dan BCA (Juni/Juli 1999).

Namun urusannya tidak selesai sampai di situ. Pada 1999, BPK mengaudit ulang sejumlah bank yang ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan sedang berada dalam penanganan BPPN. Hasilnya, uang negara yang disalurkan dalam bentuk BLBl adalah Rp 49,189 triliun. Anehnya dalam MSAA, disepakati bahwa jumlah JKPS yang harus dibayarkan adalah Rp 28,408 triliun.

Pemerintah lalu menuntut para obligor untuk menyelesailan dana yang diselewengkan itu dengan dua cara. Pertama, obligor membayar tunai sebesar Rp 1 triliun, Kedua, obligor juga menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun. Jadi total pengembalian adalah Rp 28,495 triliun. Namun ketika setahun kernudian aset-aset tersebut diaudit ulang oleh Price Waterhouse Cooper (PWC), terlihat bahwa nilainya menurun menjadi Rp 1,441 triliun (5,2 persen). Dan ketika pada 2000 aset tersebut dijual sebagian, jumlahnya sedikit meningkat menjadi Rp 1,819 triliun.

Hasil audit ulang BPI< terhadap dana BLBl pada Agustus 2000 kembali menunjukkan perbedaan. Menurut BPK, jumlah dana BLBl yang diselewengkan adalah Rp 138,4 triliun dari total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBl yang diterima oIeh 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Pada 26 April 2004, pemerintah melalui BPPN rnemberikan Surat Keterangan Lunas kepada sejumlah obligor yang telah menyerahkan aset perusahaannya. Pada tahun ini pula BPPN dibubarkan. Ironisnya, masalah kian bertambah ketika BPK melakukan audit ulang pada 2006 terhadap aset-aset para obligor yang diserahkan pada negara melalui BPPN. Hasil penghitungan oleh BPk menunjukkan bahwa dana yang diterima oleh BPPN hanya sebesar Rp 1,9 triliun. Di sinilah negara rnengalami kerugian yang sangat besar. Pada 2007, sisa aset yang dijual nilainya sebanyak Rp 640 miliar ( 3,2 persen) sehingga total pengembalian uang negara sebanyak Rp 3,459 triliun.

Para penerima dana BLBl itu antara lain: Achmad Febby Fadillah (Bank Citra Hasta Dana Manungal), Adinda Sardjana (Bank Tata Internasional), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Agus Anwar (Bank Pelita), Aloysius lndarto (Bank Dewa Rutji), dan yang lainnya sejumlah 74 orang.

Beberapa dari mereka sudah membayar utang BLBI, beberapa lainnya dianggap korupsi dan kabur ke luar negeri. Sisanya sedang dalam proses mencicil utang tersebut. Holding sebesar PT Bakrie & Brothers Tbk yang menanggung utang BLBI hingga 1 miliar dollar AS atau selutar Rp 10 triliun sudah melunasinya walau akibatnya saham keluarga Balvie tinggal 2,5 persen. Utang Bob Hasan sebesar Rp 5,3 triliun juga kelar. Begitu pula dengan Liem Sioe Liong (Rp 52,7 triliun), Siti Hardijanti Rulmana, lbrahim Risjad, dan Usman Admadjaja. Kejaksaan Agung sudah memberilan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) kepada Hasjim Djojohadikusumo (Bank Depan Sejahtera), The Ning lGng (Bank Dana Hutama), Hokiarto (Bank Hokindo), dan Sukamdani Gitosardjono (Bank Dagang Industri). SP3 juga diberikan kepada Sjamsul Nursalim sehingga memancing polemik luas di berbagai kalangan. Sjamsul dituduh bertanggung jawab atas penyaluran kredit bank miliknya yaitu BDNI kepada grup usalranya sendiri melebihi ketentuan. Saat kasusnya diproses di kejaksaan, Sjamsul sudah lebih dulu merantau ke Singapura dengan alasan berobat. Dia memang punya masalah dengan jantungnya. Dia lalu bersedia menyerahkan aset-aset miliknya untuk melunasi utang-utang BDNI yang ditanggung penierintah. Dia pun menerima surat pelunasan, dan karenanya Jaksa Agung (waktu itu) Marzulu Darusman menerbitkan SP3.

Namun berbagai pola penyelesaian utang BLBI tak berlangsung mulus. Beberapa pengusaha terpaksa dibawa ke pengadilan, termasuk Samadikun Hartono (Bank Modern) yang diadili di Pengadilan Negeri Jalarta Selatan. Utangnya ke BPPN sebesar Rp 6.5 triliun, dan Samadikun ban1 melunasi Rp 68,5 miliar dari penjualan asetnya. Dia tak mau menyerahkan aset yang lain. Pengadilan negeri membebaskannya, tapi Mahkamah Agung memvonisnya empat tahun penjara. Samadikun Hartono lalu menghilang. Beberapa koruptor BLBI lainnya juga kabur. Misalnva Dambang Sutrisno dan Andrian Kilu Ariawan (Bank Surya), juga Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).

Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para ‘konglomerat hitam’. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.


Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan BLBI adalah suatu kasus yang fenomenal dalam sejarah perekonomian, perbankan,  sistem serta praktek hukum yang terjadi di Indonesia. Kasus tersebut dikualifikasikan sebagai kasus yang sifatnya fenomenal, karena dalam penanganannya, yang semestinya murni sebagai hal-hal yang bersifat biasa dalam sistem perbankan universal, ternyata memiliki dimensi dimensi hukum, politis, perdata dan aspek pidana. 

Skandal BLBI adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang magnitudenya telah mendunia, melewati beberapa rezim pemerintahan dengan berbagai perannya. Pemerintahan Soeharto (1997 – 1998) mengundang IMF (internasional Monetary Bank) untuk merestrukturisasi perbankan yang mau kolaps dengan terms yang ketat melalui letter of intent. Pemerintahan Habibie (1998 – 1999) berperan dalam memperkenalkan assessmen untuk penanganannya antara lain dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan (BPPN). Pemerintahan Gus Dur (1999 – 2000) mengeksekusi penjualan aset aset di bawah BPPN. Pemerintahan Megawati (2000 – 2004) menerbitkan Release and Discharge kepada para pengemplang BLBI yang koperatif, dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009) secara aktif dan selektif mengundang dengan karpet merah mereka mereka yang telah memperoleh Release and Discharge, tetapi kemudian mempersoalkan, membatalkan bahkan menangkapi dan memenjarakan para obligor BLBI yang telah dinyatakan sebelumnya tidak akan menghadapi tuntutan hukum.

Kasus tersebut bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli 1997 yang diikuti dengan rumor penutupan perbankan yang kalah kliring. Pemerintah pada 1 November 1997, menutup 16 bank. Tindakan pemerintah ini mengakibatkan psikologi masyarakat terhadap kepercayaan perbankan menurun drastis, sehingga masyarakat beramai ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.

Akibat kepanikan masyarakat tersebut, untuk mengatasinya termasuk untuk menjaga jangan sampai collapse sistem perbankan nasional, bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.

Namun capital flight tetap terjadi, BLBI meningkat karena rush terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap menyuntikkan pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo negatif bertambah banyak.

Berbagai skema dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Di antara skema-skema tersebut adalah PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat Utang Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September 1998, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan obligasi rekap.

Namun belakangan terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian BLBI oleh Pemerintah tidak digunakan sesuai peruntukannya, yang potensial mengandung hal-hal yang bersifat kejahatan perbankan dan berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release and discharge yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara kalangan dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus yang bersifat pidana.

Solusi yang diambil Pemerintah sebagai lanjutan dari kebijakan BLBI adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi Rekap adalah penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit).  Atas penempatan obligasi tersebut, Pemerintah menjadi pihak berhutang kepada perbankan yang harus membayar bunga obligasi secara reguler kepada perbankan. Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi rekap tersebut, perbankan memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, membiayai operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari selisih spread (selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman yang disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat Pemerintah. Pemerintah terikat untuk membayar bunga obligasi secara reguler dan melunasinya ke perbankan yang tercermin dalam beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Sebaliknya, bunga maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan dari topangan APBN, justru dipergunakan tidak  sesuai peruntukannya untuk penyaluran ke masyarakat dalam fungsi intermediaries perbankan. Dana segar yang diterima perbankan yang telah menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan penyalah gunaan kedua dengan memanfaatkan dana segar tersebut untuk keperluan sendiri dan afiliasinya yang tidak berkontribusi kepada penyehatan perbankan.
  1. Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
  2. Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
  3. Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
  4. Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat

Manajemen perbankan dalam perekonomian dan masalah hukum atas impelementasi kebijakan BLBI

BLBI adalah suatu kebijakan (policy) dari Pemerintah dan bank Indonesia pada rezim orde baru di mana Bank Indonesia menyuntikkan dana kepada bank-bank nasional yang dengan berada dalam kesulitan likuiditas agari bank-bank tersebut dapat membayar kepada nasabah masing-masing, untuk menghindari terjadinya kepanikan masyarakat dan gagal bayar dari bank tersebut kepada nasabahnya.Pengucuran tersebut adalah semacam sinyal dan blanket guarantee dari Pemerintah bahwa simpanan nasabah mendapatkan jaminan dari Pemerintah.

Kebijakan yang demikian, dalam disiplin ilmu moneter dan perbankan adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakukan dalam koridor prudentiality dan mengikuti ketentuan perundang-undangan. Hubungan perbankan, Pemerintahan, dan doktrin hukum bisnis yang terkait akan dibahas pada bab ini, sebagai berikut :

Perbankan dalam perekonomian

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[3]. Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan[4].  Undang-undang nomor 10 tahun 1998, menambahkan definisi bank dengan anak kalimat “dalam rangka meningkatkan taraf hidpu rakyat banyak”, sehingga selengkapnya berbunyi : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Unsur modal sendiri dalam perbankan adalah tidak dominan. Karena itu  Perbankan dalam melaksanakan operasinya harus disiplin dalam mengikuti aturan aturan perbankan, mengingat dana yang disalurkan adalah dana pihak ketiga. Disiplin ketat tersebut antara lain adalah dengan menjaga rasio kecukupan modal tertentu (capital adequacy ratio), analisis spread, manajemen durasi jatuh tempo penyaluran pinjaman dengan simpanan masyarakat, kehati hatian dalam analisa pemberian kredit, baik dari sisi kelayakan, keekonomian dan agunan kredit, maupun batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit), serta larangan penyaluran kredit secara eksesif kepada kelompok usaha sendiri.

Pelanggaran ketentuan perbankan, selain merupakan pelanggaran administratif, pelanggaran perdata juga mengandung pelanggaran pidana.[5]

Bank Sentral

Bank Sentral, dalam dunia perbankan, di suatu negara lebih banyak berperan sebagai institusi pemerintahan, atau kuasi institusi pemerintahan yang tujuan utamanya bukan untuk tujuan komersial seperti untuk maksimasi profit, tetapi yang umumnya dimaksudkan adalah untuk mencapai tujuan tertentu pada perekonomian suatu negara secara umum. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah  seperti pengendalian moneter, menjaga berjalannya sistem pembayaran, pengawasan perbankan, menjadi mitra Pemerintah dalam pengendalian indikator ekonomi makro dan sejenisnya.  Dalam pemahaman Keynessian dan aliran monetarist pada umumnya, tugas utama bank sentral adalah : to control the quantity of money and interest rates, to prevent massive bank failures and act as advisor to the government.

Beberapa ketentuan  perundang-undangan mengenai fungsi bank sentral dalam  Undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang relevan dengan topik yang dibahas antara lain adalah :

Pasal 4
(1)  Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
(2)  Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

Pasal 7
(1)  Tujuan Bank Indonesia  adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(2)  Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian

Pasal 8
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
  • menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
  • mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
  • mengatur dan mengawasi Bank.
  •  

Pasal 11
(4)  Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah

Ketentuan-ketentuan di atas merupakan revisi secara fundamental dari Undang-undang tentang Bank Indonesia, sebelumnya yang menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Undang undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral

Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah
Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah di berbagai negara adalah bervariasi. Ada negara yang memasukkan Bank Sentral sebagai bagian dari Pemerintahan (seperti Indonesia dalam rezim Undang-Undang nomor nomor 13 tahun 1968) , ada juga Negara seperti Jerman, yang memberi independensi sepenuhnya kepada Bank Sentralnya serta tidak tidak merupakan bagian dari institusi Pemerintahan ataupun politik, atau yang merupakan hybrid dan perpaduan dari keduanya seperti Federal Reserve Bank di USA.

HUBUNGAN BANK SENTRAL DENGAN PEMERINTAH.

Pasal 8.
(1) Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam Pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut pada ayat
(1) Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter.

DEWAN MONETER.
Pasal 9.
(1) Dewan Moneter membantu Pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijaksanaan moneter seperti termaksud dalam Pasal 8, dengan mengajukan patokan-patokan dalam rangka usaha menjaga kestabilan moneter, kepenuhan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup rakyat.
(2) Dewan Moneter memimpin dan mengkoordinir pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 10.
(1) Dewan Moneter terdiri atas 3 (tiga) orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidang Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank.
2) Antara Anggota-anggota Dewan Moneter dan Anggota-anggota Direksi tidak boleh ada hubungan keluarga sampai dengan derajat ketiga menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar.
(3) Jika seorang Anggota Direksi sesudah pengangkatannya masuk hubungan keluarga yang terlarang dengan seorang Anggota Dewan Moneter sebagai dimaksudkan dalam ayat (2), maka Anggota Direksi yang bersangkutan tidak boleh terus memangku jabatannya tanpa izin Presiden.
(4) Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat, menambahkan beberapa orang Menteri sebagai Anggota penasehat kepada Dewan Moneter.
(5) Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh Departemen Keuangan.

Pasal 11
(1) Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan.
(2) Anggota Dewan Moneter pada tiap kali ia berhalangan, menunjuk seorang wakil yang atas kuasanya dapat turut serta dalam Sidang-sidang Dewan Moneter dengan mempunyai hak suara.

Salah satu tugas bank sentral adalah menjaga berjalannya sistem pembayaran di suatu negara. Dalam hal suatu bank peserta kliring mengalami kalah kliring (saldo tagihannya terhadap bank Indonesia lebih kecil di banding saldo kewajibannya), maka untuk menjaga tetap berjalannya sistem pembayaran, bank sentral mengharuskan bank yang kalah kliring untuk menambah saldo rekeningnya di bank sentral. Penambahan saldo tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek, kredit likuiditas atau bantuan likuiditas.

Fungsi intermediaries perbankan didasarkan pada perhitungan normal bahwa jatuh tempo pinjaman pihak ketiga di suatu bank tidak akan mengganggu kemampuan membayar bank atas suatu tagihan yang dimintakan ke bank itu secara langsung, ataupun yang penagihannya melalui mekanisme kliring. Suatu perbankan akan tidak dapat bertahan apabila secara serentak, para nasabah menarik uang dari sistem perbankan tersebut, dan tidak ada simpanan baru di dalam sistem perbankan. Apabila suatu bank tidak mampu membayar tagihan yang jatuh tempo, hal ini akan dapat mendorong terjadinya rush, yaitu para nasabah akan ramai-ramai menarik simpanannya dari sistem perbankan. Hal ini selanjutnya akan memberikan efek menular (contagion effect) terhadap perbankan yang relatif masih sehat keuangannya.

Untuk menjaga agar tidak terjadi contagion effect tersebutlah, bank  sentral dengan berbagai instrumen yang dimilikinya dapat menginjeksikan sejumlah likuiditas kepada perbankan, yang penyaluran, penggunaan dan pelaporannya harus dilakukan dengan mengikuti kaidah tertentu atas dasar prinsip kehati-hatian dan kepercayaan.

Doktrin Keputusan Bisnis
Hukum bisnis sebagai bagian dari hukum perdata, menganut asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak untuk merumuskan kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (public law), dilakukan dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi. Kebebasan para pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila ternyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam doktrin keputusan bisnis berlaku suatu asas yaitu bahwa suatu keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tidak dapat dituntut sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent, dalam lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya, dikenal dengan :
  • Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence)
  • Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan ( duties of skill, care and diligence)
  • Tugas yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)

Pendekatan ekonomi versus pendekatan moral dalam penyelesaian tindak pidana ekonomi.
Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Hukum pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dan bukan pilihan utama (primum remedium) untuk penyelesaian suatu kasus. Pendekatan yang konsisten memandang bahwa hukum pidana harus diterapkan secara konsisten untuk memberi efek jera, didasari pada filsafat moral dari aliran Imanuel Kant (Kantisme) yang memandang bahwa pelaku pelanggaran pidana, melakukan perbuatannya adalah dengan kesadaran penuh ( a guilty mind = mens rea). Sedangkan aliran utilitarianisme berpendapat bahwa penghukuman tidak efektif untuk memberikan efek jera, karena itu lebih baik dicarikan suatu tindakan yang dapat mengkompensir suatu pelanggaran dengan memberikan kemanfaatan yang maksimal bagi masyarakat. Pemidanaan hanyalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam hal pelanggar hukum tidak koperatif terhadap kebijakan yang diambil otoritas suatu negara untuk mengkompensir kesalahan tersebut.

Kedua pendekatan di atas masing-masing melihat pemenuhan unsur keadilan dari sisi yang berbeda. Pendekatan pemidanaan sebagai sarana utama, didasarkan pada konsep keadilan retributive. Konsep keadilan retributive percaya bahwa semua orang harus mendapatkan keadilan yang sama, dan keadilan hanya dapat diwujudkan manakala diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kesalahan tersebut. Sedangkan pendekatan yang lebih melihat kepada suatu pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan, dikenal dengan pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan komutatif lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang mencari penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui lembaga arbitrase.  

Dalam common law, dikenal juga penyelesaian kasus dengan pendekatan kompensasi komutatif yang disebut injunction. Konsep ini berupa penetapan pengadilan yang mengabulkan gugatan satu pihak, dimana pihak yang kalah diwajibkan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu untuk jangka waktu tertentu (temporary restraining order)[10].

Aspek pidana dalam keputusan bisnis.
Menurut Romli Atmasasmita[11], kejahatan bisnis dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang keuangan dan perbankan dapat diterapkan tiga sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana. Selanjutnya, Romli Atmasasmita[12] juga menyatakan bahwa dalam hal terdapat suatu pelanggaran dalam praktek hukum keuangan dan perbankan, tidak ada urutan preferensi atau peraturan perundang-undangan yang menyatakan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengadili perbuatan tersebut. Pada hal, penegasan mengenai preferensi tersebut adalah penting untuk mendapatkan dan memberikan kepastian hukum bagi para penegak hukum, pelaku bisnis maupun para stake holder yang terkait. Romli Atmasmita juga menyatakan bahwa penyelesaian secara keperdataan dalam kasus yang mengandung unsur tindak pidana di Indonesia justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidak adilan.

Analisis kebijakan, implementasi dan aspek hukum BLBI

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, pembahasan dalam bab ini akan meliputi :
  • Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
  • Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
  • Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
  • Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat

Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya. Respon yang diberikan Pemerintah dalam menangani krisis perbankan dalam bentuk BLBI berdasarkan ketentuan normatif perundang-undangan masih berada dalam lingkup kewenangan Pemerintah. Namun demikian, peristiwa tersebut bukan peristiwa yang lepas dari rentetan kebijakan Pemerintah sebelumnya, seperti pelonggaran dan liberalisasi perbankan yang dikenal dengan Paket Oktober 1988. Dalam paket tersebut, Pemerintah memberi izin pendirian bank umum kepada masyarakat luas hanya dengan modal Rp. 10 milyar. Kemudahan pendirian perbankan, yang lebih menekankan kepada aspek perluasan (marketing), tanpa memperhatikan prudentiality merupakan bibit lahirnya krisis perbankan.[14] Penyaluran kredit kepada kelompok usaha sendiri, assessmen kelayakan pemberian kredit yang di bawah standar, serta fasilitasi yang diberikan Pemerintah dan Bank Indonesia seperti fasilitas diskonto, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk menutupi ketidak sehatan perbankan, yang tidak disertai dengan sanksi yang tegas kepada manajemen perbankan berakumulasi sedemikian rupa yang meledak tidak lebih dari 10 tahun sejak paket tersebut diperkenalkan Pemerintah.

BLBI adalah kebijakan Pemerintah. BLBI bukan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia, semata-mata adalah pelaksana dari suatu kebijakan Pemerintah. Sebagai bukti dari argumentasi di atas, adalah bahwa atas penyaluran BLBI, Bank Indonesia mengalihkan tagihan[15] kepada penerima BLBI menjadi tagihan Pemerintah melalui Badan yang khusus dibentuk Pemerintah untuk itu yang bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk oleh Pemerintah dengan Keppres nomor 27 dan no. 34 tahun 1998.  Tugas Pokok BPPN misalnya antara lain adalah untuk merestruktusisasi sektor sperbankan secara keseluruhan sejalan dengan program yang diformulasikan oleh Bank Indonesia. Dengan  demikian, tidak mudah untuk memilah antara tanggungjawab Pemerintah maupun tanggungjawab Bank Sentral sehubungan dengan krisis yang terjadi dengan BLBI.

Dalam hal penyaluran BLBI, bank Indonesia berkilah dan berlindung di balik berbagai aturan normatif sebagai berikut :

Bank Indonesia merupakan lender of the last resort bagi bank nasional
Rush terhadap salah satu bank dapat mengakibatkan berkurangnya dana dalam sistem perbankan, yang pada gilirannya akan berpengaruh (contagion effect) yang memberikan efek domino terhadap bank-bank lain dalam sistem perbankan nasional
Adanya program penjaminan pemerintah terhdapa simpanan nasabah di bank-bank nasional memungkinkan Bank Indonesia secara otomatis memberikan BLBI kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
Pemberian BLBI oleh Bank Indonesia kepada bank bank adalah untuk menolong sistem perbankan nasional.
Terhadap hal tersebut di atas, auditor yang ditugasi Pemerintah melihat bahwa kesalahan dalam implementasi BLBI ada pada Bank Indonesia, sebagai berikut :
  • Mengabaikan fungsi pengawasan.
  • Mengabaikan penerapan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap para pelanggar.
  • Mengabaikan langkah langkah pengamanan terhadap penyimpangan oleh bank bank yang melanggar batas minimum pemberian kredit (BMPK), melanggar prinsip prudential banking, mutasi akuntansi yang merupakan financial engineering, membiarkan penggunaan BLBI tanpa kendali, diskriminasi penyaluran BLBI, intervensi valas kepada bank bersaldo debet, mengambaikan program penjaminan perbankan, membiarkan penyelesaian jatuh tempo melalui mekanisme kliring

Penulis melihat ada ketidak seimbangan penilaian dan pemberian beban tanggung jawab dalam hal ini. Auditor BPK maupun BPKP tidak ada mengungkap apakah ada beban kesalahan atau kekeliruan pada sisi Pemerintah, tetapi semata-mata ditekankan kepada Bank Indonesia sebagai implementator kebijakan Pemerintah.

Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya Kebijakan pemberian BLBI sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dimaksudkan Pemerintah adalah dalam rangka penyelamatan perbankan nasional dari rush dan kolapsnya sistem perbankan. Karena itu Keppres dimaksud adalah dalam rangka penjaminan simpanan nasabah, untuk memberi ketenangan psikologis agar masyarakat tidak ramai-ramai menarik uangnya dari sistem perbankan. Untuk tujuan tersebut, maka penggunaan BLBI seyogianya mengikuti aturan, kriteria dan mekanisme yang jelas untuk mencapai tujuannya.

Namun dalam prakteknya, hal tersebut tidak demikian. Penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia lebih banyak ditekankan untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan oleh penarikan dana pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI. BI memutuskan akan tetap memberi kelonggaran berupa fasilitas saldo debet dengan mekanisme kliring, tanpa memberikan dispensasi, batas jumlah dan batas waktu yang jelas serta kriteria yang jelas. Hal ini tertuang dalam Keputusan Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 15 Agustus 1997.

Auditor BPKP dan BPK menyatakan dari total BLBI yang disalurkan sebesar Rp. 144,536 Triliun, terdapat sejumlah Rp. 138,442 Triliun atau 95.78 % yang menimbulkan potensi kerugian negara.

Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut adalah sebagai berikut :
  • Penggunaan BLBI untuk membayar/ melunasi modal pinjaman/ pinjaman subordinasi ( Rp. 46,08 M)
  • Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Rp. 46,088 M)
  • Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait/ kelompok terafiliasi (Rp. 20,36 T)
  • Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di luar ketentuan ( Rp. 4,47 T)
  • Penggunaan BLBI untuk transaksi surat berharga (Rp. 136,90 M)
  • Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp. 22,46 T)
  • Penggunaan BLBI untuk membiayai placement/ penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (Rp. 9,82 T)
  • Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karayawan, peluncuran produk baru, penggantian sistem (Rp. 456,35 M)
  • Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp. 16,81 T)
  • Penggunaan BLBI untuk membiayai overhead (biaya operasional) bank umum (Rp. 87,14 M)
  • Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Rp. 10,06 T)

Apakah pemberian R&D (release and discharge) tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.?

Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah menyelesaiakan kewajibannya atau tidakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan kewajiban pemegang saham, pada pasal-pasalnya antara lain menyatakan :

Ayat 1.
Kepada para debitur yang telah menyelesaian kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/ atau Akta Pengakuan Utang/ APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian tersebut.

Ayat 4.
Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/ atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Instruksi Presiden di atas memberikan implikasi dan persoalan hukum yang luas yaitu :
Pengakuan Pemerintah yang lebih tinggi kepada hukum privat dibandingkan dengan hukum publik. Ayat 1 pasal tersebut memberikan implikasi  bahwa terhadap para debitur akan diberikan pelepasan dari suatu tanggungjawab (release and discharge), tanpa mempersoalkan apakah timbulnya kewajiban tersebut, karena suatu mismanagement, pelanggaran hukum atau suatu perbuatan yang mungkin mengandung unsur pidana. Akta pengakuan utang (APU) misalnya hanya menyangkut pengakuan berdasarkan verifikasi atas jumlah utang BLBI seorang debitur. Akta itu telah menjelma dan berubah menjadi suatu peniada terhadap apapun penyebab timbulnya hutang maupun terhadap bagaimana BLBI tersebut dipergunakan.

Hukum administrasi Negara, mengambil alih dan berdiri di atas hukum publik. Adalah tidak lazim dan bertentangan dengan hukum positif, manakala suatu instruksi administrasi (dalam hal ini berupa INPRES) menyapu bersih dan meniadakan sama sekali aspek pidana.

Dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), misalnya, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 a).

Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut hanya dapat dilakukan apabila :
  • Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama/ nebis in idem (pasal 76)
  • Terdakwa meninggal dunia (pasal 77)
  • Perkara telah dinyatakan telah lewat waktu/ kadaluwarsa (pasal 78)
  • Pelanggaran yang diancam dengan denda saja (pasal 82).
  • Tidak ada pengaduan dalam hal perkara yang dimaksud adalah berupa delik aduan (pasal 72 – 75)

Demikian juga dalam Undang-undang nomor  31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pasal 4 dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana.

Memang, apabila ditinjau sepintas, pengeluaran Inpres tersebut sampai pada tingkat tertentu dapat dipandang sebagai kemenangan hukum perdata atau hukum privat atas hukum publik, yang memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersetuju dan bersepakat serta koperatif terhadap kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan recovery of asset daripada penghukuman. Pendekatan yang lebih mengutamakan penyelesaian perdata dibandingkan dengan penyelesaian pidana, dalam istilah hukum dikenal dengan pilihan yang menggunakan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Sedangkan apabila pendekatan yang diambil adalah lebih menonjolkan fungsi menghukum, dalam istilah hukum disebut menggunakan hukum sebagai primum remedium.

Gugatan atas INPRES nomor 8 tahun 2002

INPRES nomor 8 tahun 2002, mendapat gugatan dan perlawanan besar dari sekelompok masyarakat. Inpres itu dianggap telah melukai rasa keadilan masyarakat, dimana para pengemplang keuangan negara, dibebaskan dari segala tuntutan hukum asal yang bersangkutan mau koperatif terhadap skema penyelesaian yang disodorkan oleh Pemerintah. Kwik Kian Gie[17], sebagai Menteri Perekonomian pada masa dikeluarkannya Inpres tersebut adalah salah satu penentang hebat dari kebijakan Presiden dimaksud, dan bahkan telah memprediksi bahwa gugatan dari masyarakat di kemudian hari akan timbul karena INPRES di atas dianggap terlalu memihak kepada para pengemplang BLBI, tanpa mempersoalkan dan melihat adanya mismanagement yang berbau tindak pidana yang mengancam kolapsnya sistem perbankan. Demikian juga penggunaan BLBI maupun skema penyelesaiannya, serta akibat dan beban luar biasa terhadap perekonomian negara, dipandang merupakan pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat dan Presiden dianggap telah bertekuk lutut di bawah jaring pendiktean kapitalis globalis.

Mahkamah Agung mengelak dari substansi persoalan

Keberadaan Inpres nomor 8 tahun 2002, oleh kalangan masyarakat yang disponsori oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diajukan gugatan judicial review ke pengadilan melalui mahkamah agung pada tanggal 27 Mei 2003.

Pokok gugatan antara lain adalah sebagai berikut :

Inpres nomor 8 tahun 2002 telah melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya, dimana menurut ketentuan pasal 4 ayat 1 Tap MPR no. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa “ setiap atauran hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.

Pelanggaran terhadap ketentuan yang lebih tinggi itu antara lain adalah terhadap
Tap MPR IX/ MPR/1998 yang menugasi Presiden untuk konsisten dalam memberantas korupsi, sesuai undang-undang; Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana; Undang-undang nomor 8 tahun  1981, yang memberikan hak untuk penghentian penuntutan (SP3) kepada penyidik, setelah melalui proses penuntutan ternyata tidak ditemukan cukup bukti untuk melanjutkan penuntutan; Undang-undang nomor 5 tahun 1991 tentang kejaksaan yang memberi hak untuk menggunakan hak oportunitasnya demi kepentingan umum; KUHP yang mengatur kriteria tetang peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut.

Mahkamah Agung dengan putusan nomor 06G/HUM/2003 tanggal 30 Mei 2007 mengelak untuk membahas substansi yang digugat, dan menyatakan bahwa Inpres nomor 8 tahun 2002 adalah merupakan kebijakan Pemerintah dan tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa dalam judicial review. Pertimbangan putusan hukum adalah sebagai berikut :

Inpres tersebut merupakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan perjanjian PKPS, yang berbentuk MSAA, MRNIA dan/ atau APU. Kepada para debitur yang patuh diberikan jaminan kepastian hukum berupa pembebasan dari tuntutan pidana, dan kepada yang tidak patuh tetap diterapkan proses hukum, termasuk tuntutan pidana. Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (beleid regels), demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara. Sebagai kebijakan, Inpres Release and Discharge tidak termasuk sebagai obyek hak uji materiil. Oleh karena itu, MA menolak gugatan hak uji materi Inpres No. 8 tahun 2002.

Putusan  Mahkamah Agung tersebut, menurut penulis adalah tidak konsisten, kontroversial dan mengandung contradictio in terminus.  Di satu sisi MA menyatakan tidak berwenang melakukan uji material, tetapi di sisi lain MA menyatakan bahwa Inpres dimaksud adalah semata mata merupakan beleid Pemerintah, dan isi atau materinya adalah proper dan masih dalam lingkup kewenangan kebijakan Pemerintah.

Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat

Penyelesaian krisis perbankan dengan skema obligasi rekap merupakan konsep yang disampaikan IMF (Internasional Monetary Fund) pada tahun 2000 an kepada Pemerintahan Presiden Megawati. Jumlah OR yang dipersiapkan adalah Rp. 432 Triliun, yang bersama bunga yang masih akan digelontorkan Pemerintah berjumlah menjadi Rp. 600 Triliun.

Cara kerja atau mekanisme bekerjanya obligasi rekap, secara teoretis adalah sebagai berikut :

Kepada perbankan yang secara yuridis telah kolaps (saldo modal negatif), ditopang Pemerintah dengan menempatkan obligasi rekap (sebagai asset) seolah-olah pinjaman Pemerintah kepada perbankan. Atas pinjaman tersebut Pemerintah membayar bunga secara reguler dan berjanji akan menarik atau mencicil  pinjamannya pada jangka waktu (schedule) yang disepakati. Pembayaran bunga secara reguler ke pada perbankan, dan cicilan OR nya merupakan beban Pemerintah yang tercermin pada sisi pengeluaran APBN setiap tahun. Perbankan mencatat pada sisi kredit OR yang diterima sebagai Tambahan Modal Perbankan (equity).

Skeme tersebut memberi perbankan dua keuntungan sekaligus, yaitu memenuhi ketentuan kesehatan perbankan secara internasional (Capital Adequacy Ratio) yang mencukupi sesuai ketentuan Bank of Internasional Settlement, dan memperoleh pendapatan secara teratur melalui bunga dan cicilan OR dari Pemerintah. Bank yang telah sehat, diharapkan dapat menjalankan fungsi intermediaries secara normal. Hal ini akan ditandai dengan penyaluran pinjaman dan penerimaan simpanan  masyarakat. Selisih bunga (spread) yang diperoleh, akan merupakan akumulasi keuntungan yang pada akhirnya dapat dipergunakan oleh perbankan untuk mengembalikan penyertaan modal pemerintah yang sebelumnya telah menjadi pemilik modal mayoritas perbankan, melalui konversi BLBI menjadi penyertaan modal pemerintah. Pada akhirnya sistem perbankan akan pulih, Pemerintah mengembalikan perbankan ke swasta dan menarik modalnya yang ada di perbankan.

Mengingat kebijakan OR pada dasarnya hanyalah financial engineering, maka Pemerintah memberlakukan aturan yang ketat untuk memastikan agar uang yang digelontorkan melalui APBN itu tidak disalah gunakan lagi oleh pengelola perbankan. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

Pada dasarnya, secara hukum pemilik perbankan telah beralih kepada Pemerintah, karena kepemilikan melalui BLBI dan OR. Pemilik lama, hanya sekedar pengelola, dan Pemerintah menempatkan wakilnya untuk mengawasi operasi perbankan
Penjualan perbankan hanya akan dilakukan jika bank sudah sehat, mampu membuat laba dan telah mengembalikan OR kepada Pemerintah
Penjualan bank-bank akan dilakukan dengan tender terbuka secara transparan. Pemerintah akan mengumumkan secara terbuka kepada semua pembeli potensial di seluruh dunia
Pemerintah menentukan harga minimum bank, dan akan dirahasiakan serta disimpan pada notaris yang ditunjuk bersama oleh Pemerintah bersama IMF.
Kebijakan  tersebut, baik dalam konsepnya maupun prakteknya dipandang tidak mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan logika hukum, serta mengandung banyak penyelewengan antara lain sebagai berikut :

Menyuntik perbankan yang kolaps karena mismanagement oleh pengelolanya dengan topangan dana APBN dipandang melukai rasa keadilan masyarakat. Management yang salah dalam mengelola tidak memperoleh hukuman apapun sesuai dengan Undang-undang perbankan atau undang-undang pemidanaan yang lain
Pemerintah tidak menarik OR meskipun perbankan telah sehat dan memiliki spread yang positif. Pemerintah tidak mempercepat batas waktu penghentian subsidi pemerintah melalui OR.
Obligasi belum ditarik pada saat bank dijual. Ini berarti, sekalipun kepemilikan perbankan telah berpindah baik kepada swasta, mantan pemilik atau asing, Pemerintah tetap akan membayar bunga dan cicilan pokok melalui beban rakyat di APBN
Penjualan bank tidak dilakukan secara transparan dan terbuka
Dalam kenyataannya bank-bank yang dijual jatuh kepada para pemilik lama, atau mantan pejabat IMF, dengan skeme dan harga yang justifikasinya tidak dapat dijelaskan dengan wajar

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai berikut :

Kebijakan BLBI yang diambil oleh Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral, sepanjang mengenai kebijakan normatif dalam rangka penyelamatan perbankan dalam sistem perekonomian masih berada dalam lingkup kewenangan institusi masing-masing. Dalam sisi kebijakan, maka beban pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Pemerintah. 

Penggunanaan fasilitas BLBI dalam impementasinya tidak sesuai dengan tujuan pemberiannya. Dari sisi implementasi, maka beban pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral.

Pemberian release and discharge bagi para obligor yang berdasarkan penilaian Pemerintah telah kooperatif adalah bertentangan dengan sistem hukum, logika hukum dan asas keadilan hukum di Indonesia.

Penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang salah baik dari segi konsep, implementasi maupun pertanggungjawaban publik Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan kepada rakyat. Mengalihkan akibat finansial dari kekeliruan dalam managemen perbankan ke pada masyarakat melalui APBN adalah bertentangan dengan asas keadilan masyarakat dan dapat dipandang sebagai tindakan yang melebihi kewenangan dari Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Using Facebook