Sabtu, 16 Maret 2013

Zaman Soeharto VS SBY

Artikel / tulisan ini, bukan untuk membangkitkan "rasa rindu" pada Orde Baru. Tapi, Ayah_Alif hanya ingin membagi cerita tentang "Enak"nya hidup dimasa Soeharto dulu. Tidak ada Gading Tak Retak. Negatif dan Positif, seperti sisi mata uang. Sama halnya dengan zaman Soeharto dulu, ada beberapa sisi positifnya :
  1. Pemerintah mampu mengkontrol harga sembako (murah).
  2. Pembangunan dimana2. Maka tidak heran kalau Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.
  3. Negara aman n tidak ada konflik.
  4. Negara tetangga tidak ada yg berani/enggan.
  5. Banyaknya lapangan pekerjaan. 
  6. Biaya pendidikan murah n terjangkau.
  7. Harga BBM, sangat merakyat (Subsidi pemerintah).
  8. Tidak ada demontrasi.



Karena ke 7 hal tersebut diataslah, banyak masyarakat yg memandang n menilai. Kalau hidup dizaman Soeharto jauh lebih enak. Tapi dibalik kenikmatan itu, ternyata ada sisi negatifnya. Antara lain :
  1. Tidak ada demokrasi (Otoriter).
  2. Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, sangat terbatas.
Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya zaman Soeharto lebih enak.


Sementara itu kalangan aktivis dan politikus mengingat Orde Baru sebagai masa represif bak mimpi buruk. Sedikit-sedikit enak saja aparat menangkap orang. Tuduhan subversif pada saat itu mungkin sama dengan menyeramkannya dengan cap teroris yang disematkan Densus 88 Polri saat ini.

Meski di zaman Orde Baru tidak ada demokrasi dan pemerintah sangat otoriter, masyarakat tidak pernah melihat hal itu. Rakyat lebih melihat pada stabilitas ekonomi dan juga rasa aman dan nyaman yang dibuat oleh rezim saat itu.

Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila. Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya.


BOLA politik digulirkan oleh lembaga penelitian Indo Barometer, yang menyebutkan bahwa mayoritas responden lebih puas terhadap zaman Soeharto ketimbang era SBY sekarang terutama di bidang ekonomi yang semakin meningkatnya pengangguran dan kemiskinan serta mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.

Berdasar hasil survei tersebut, publik menilai kehidupan di era Soeharto jauh lebih baik daripada era Presiden SBY. Sebesar 40,9% responden mempersepsikan bahwa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Reformasi yang hanya didukung 22,8% responden. Sikap publik yang dijaring melalui survei oleh Indo Barometer juga menyebutkan popularitas SBY terjun bebas.

Mungkin saja hasil survei itu kurang akurat, namun setidaknya hal tersebut sebagai bentuk akumulasi kekecewaan publik terhadap pemerintahan SBY selama dua periode yang belum membawa perubahan dan faktanya kehidupan yang dirasakan masyarakat lebih berat. Daya beli masyarakat terus menurun, disebabkan nilai ekonomis pendapatannya semakin kecil. Era Soeharto, rakyat masih bisa menyimpan duit dan makan teratur. Namun sekarang, cari duit tidak halal saja susah, apalagi yang halal, bahkan tiap hari harus makan tabungan alias menguras tabungan terus menerus dan melego barang-barang yang ada. Akibat keterpurukan ekonomi, kehidupan rakyat sengsara, akhirnya banyak yang memilih bunuh diri.

Bahkan, mantan tahanan politik orde baru Sri Bintang Pamungkas yang juga musuh politik Soeharto, ternyata mengaku bahwa era SBY tujuh tahun lebih “kejam” daripada zaman Soeharto 32 tahun. Di era SBY, kata dia, ada 15 ribu orang mati bunuh diri dalam tiga tahun terakhir ini karena ekonomi.

Pelanggaran HAM di era SBY karena berbeda pendapat, lalu ditangkap tanpa atau dengan proses hukum, dan bahkan orang ditembak mati atau dibunuh dengan tuduhan teroris. Sedangkan di zaman Soeharto, korupsi hanya terbatas pada keluarga dan lingkaran Cendana. "Sekarang, korupsi dilakukan dari mulai Istana SBY, kepala daerah, DPR, DPRD. Jadi kalau dulu muak pada Soeharto, sekarang rakyat lebih muak lagi."

Memang zaman Orde Baru dulu marak KKN, tetapi dilakukan di bawah meja. Namun, era rezim SBY sekarang ini malah KKN dilakukan di atas meja dan bahkan mejanya ikut dikorupsi. Korupsi sekarang nekat bin kalap, sehingga kalau KPK boleh menangkap pelaku korupsi di bawah Rp 1 miliar, maka penuhlah hotel prodeo . Sehingga ada celetukan lucu dari Patrialis Akbar, sang Menteri Hukum HAM era SBY, bahwa korupsi di bawah Rp 25 juta tidak usah diproses hukum alias dilepas dari hukum pidana dengan alasan karena kemanusiaan dan penjara sudah penuh.  He…he…hee…

SBY pun dinilai tidak tegas dalam setiap mengambil keputusan. Bahkan di bidang hukum, rasa keadilan rakyat sangat tidak puas. Awalnya, dalam kepemimpinan SBY diharapkan penegakan hukum bisa jauh lebih dari era Orde Baru. Ternyata. penegakan hukum diwarnai tebang pilih dan tidak menyentuh jaringan kekuasaan dan lingkaran Istana.

Hanya rakyat miskin kebanyakan dan kaum tak berduit yang diseret dan diproses hukum. Pisau hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke bawah.  Bahkan, penegakan hukum terkesan hanya pencitraan belaka.

Konon, Ratu Sima yang memimpin sebuah Kerajaan di Jepara, memerintah dengan tegas dan keras, tetapi adil dan bijaksana. Kepada setiap pelanggar, selalu diberikan sanksi tegas. Rakyat tunduk dan taat terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani melanggar hukum.

Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyatnya terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorang pun menyentuh atau mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman.

Khalifah Umar bin Khattab seorang pemimpin yang berwatak keras dan tegas, tetapi peka terhadap kesusahan rakyat serta memperhatikan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya.

Sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Ia pun dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam.

Bagaimana dengan pemimpin di Indonesia sekarang? Dulu rakyat relatif tidak mengeluh dengan kemiskinan, pengangguran juga lebih kecil. Nampaknya, Soeharto lebih pintar memenuhi kebutuhan perut rakyatnya duluan. Setidaknya dengan terawatnya perut rakyat, maka kebutuhan utama sudah terpenuhi.  Sekarang angka kemiskinan membengkak di pedesaan.

Padahal, kita negara agraris yang kaya raya akan sumber daya alam. Zaman Soeharto juga lebih menekankan swasbada dan mencintai buatan Indonesia. Sekarang dari garam dan cabe hingga pesawat terbang diimpor dari luar. Padahal, kita memiliki pesawat buatan IPTN yang dulu dimanfaatkan Soeharto untuk kebutuhan dalam negeri. Jadi, kebijakan sekarang berbeda dengan kebijakan orde baru. Kini, pemimpin kita lebih pro pemodal asing serta cenderung ke arah neoliberalisme (neolib) dan kapitalisme untuk menjadi budak atau jongos asing.

Memang banyak pula hal-hal jelek di bidang lain di zaman Soeharto yang tidak perlu kita ulangi. Namun, lepas dari kekurangan dan kebobrokan era Soeharto dalam bidang KKN, tapi rakyat kecil tidak terlihat mengalami kesusahan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, tidak heran kalau para kaum marjinal dan rakyat melarat sekarang jika disurvei akan banyak yang bilang bahwa era Soeharto lebih enak dan bisa makan tiga kali sehari.

Beras gampang didapat, biaya kesehatan tidak mahal dan pendidikan murah bisa terjangkau. Kini sebaliknya, bahkan harga-harga melonjak dan melambung tinggi. Untuk memenuhi makan saja banyak yang susah, sehingga tak heran marak berita bunuh diri karena tekanan ekonomi.

Survei Indo Barometer bisa saja tidak valid atau tak reliable dari segi pengambilan sample, tetapi hasil kesimpulan survei ini hendaknya bisa dijadikan koreksi dan cambuk bagi SBY agar tidak enak-enakan dalam menduduki kursi empuk di tampuk kekuasaan.

SBY tidak perlu protes dan merah telinga terhadap hasil survei tersebut. Demikian pula “orang-orang”-nya SBY tidak perlu mengecam hasil survei Indo Barometer dan menghujat kembali kekurangan Soeharto. Justeru yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kerja keras dalam memperbaiki keadaan, pemulihan ekonomi, penegakan hukum yang serius dan jangan lagi melakukan pencitraan.

Yang penting, rakyat tidak mengeluh dengan berbagai kenaikan harga barang dan sudah tidak ada lagi orang bunuh diri akibat tekanan ekonomi, rakyat awam bisa mendapatkan keadilan, hukum tidak dipolitisasi, orang-orang dekat penguasa  yang melanggar hukum dan korupsi harus diusut dulu sebelum pihak SBY ceramah anti korupsi, dan segera penuhi janji-janji kampanye. Ingat, pejabat seperti manca negara misalnya Jepang dan Korea akan mundur dari jabatannya begitu diberitakan terindikasi korupsi, tidak perlu membela diri dengan menghalalkan berbagai cara seperti kalangan pejabat kita. Penegakan hukum tebang pilih, kalangan dekat dan keluarga serta kroni-kroni penguasa diloloskan dari jerat hukum.

Benarkah penegakan hukum pasca reformasi khusunya era SBY berjalan sesuai amanat reformasi? Tengok saja kasus-kasus dugaan korupsi yang masih mangkrak dan tak jelas ujung pangkal penyelesaian dan muara rimbanya. Entah sengaja dilupakan dan dipetieskan, yang jelas publik tidak puas dengan pemberantasan korupsi sekarang yang tidak sesuai dengan janji-janji kampanye SBY.

Seperti tidak jelasnya penuntasan mega skandal Bank Century, mandegnya pengusutan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, raibnya proses hukum kasus rekening gendut perwira tinggi Polri, misteriusnya tersangka/saksi kunci kasus Miranda-gate, lambatnya kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games yang diduga melibatkan petinggi Partai democrat, dugaan rekayasa kriminalisasi kasus Antasari Azhar, dan politisisi kasus hukum lainnya. Jangan sampai era reformasi dengan ongkos politik yang sangat mahal ternyata menghasilkan keadaan lebih jelek dari era Soeharto.

Memang hasil kesimpulan survei Indo Barometer bukan berarti publik merindukan sosok seperti Soeharto. Tapi menjadi bukti bahwa kehidupan rakyat dan pemenuhan kebutuhan ekonomi di era SBY jauh “tidak enak” bila dibanding zaman orde baru. Reformasi yang menelan banyak korban jiwa dan tenaga ternyata tidak sangat signifikan terhadap hasil capaiannya dalam pelaksanaan pemerintahaan sekarang. Korupsi masih marak dan mengurita, penegakan hukum masih tebang pilih, harga-harga barang malah melonjak tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan super mahal.

Jadi, pengumuman hasil survei tersebut hendaknya dijadikan cambuk oleh pemerintah SBY untuk bekerja lebih serius dan sadar untuk tobat melakukan korupsi demi kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat ini. Maaf, jangan tunggu lagi sampai ada hasil survei menyimpulkan: “Mayoritas rakyat ingin menurunkan rezim SBY”.  

Soeharto dan Bapak Pembangunan


Setelah menjadi presiden, mulai 1969 Soeharto dianggap berhasil menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Hal itu terlihat dimulainya pembangunan-pembangunan di Indonesia.

Bahkan, di tengah kesulitan dan resesi yang menerjang seluruh dunia kala itu, Indonesia malah dianggap sebagai negara kuat oleh Bank Dunia. Mampu mencapai laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 7,6 persen per tahun.

Meski dianggap sukses memimpin Indonesia, ada juga kelompok oposisi yang mengecilkan arti dan hasil pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintahan Orde Baru kala itu. Karena itu, Ali Moertopo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan mengambil inisiatif sendiri.

Ia merencanakan untuk memberikan penghargaan kepada Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Kemudian, pada 12 Maret 1981 Ali Moertopo mengumpulkan bawahannya dalam rapat kerja khusus Departemen Penerangan. Rapat itu membahas secara khusus pemberian gelar kepada Soeharto.

Setelah rapat beres, hasil rapat itu kemudian disampaikan kepada Soeharto. Ia kemudian menghadap dan berharap Soeharto mau menerima penghargaan sebagai Bapak Pembangunan. Mendengar laporan dari menterinya, Soeharto awalnya tak menggubris.

Meski mendapat penolakan, Ali Moertopo tidak kehabisan akal. Dua bulan berikutnya, saat Ali membuka pameran pembangunan di Kebayoran Lama, pada kesempatan itu, dia memanfaatkan waktu secara efektif untuk mengembuskan isu tentang Bapak Pembangunan.

Pada mulanya, masyarakat menanggapinya biasa saja. Seiring bergulirnya waktu, isu itu kemudian berubah menjadi super isu yang menyedot banyak perhatian dari berbagai kalangan. 

Tingkat elite yang duduk di pemerintahan umpamanya, mereka malah ragu apakah Soeharto mau menerima penghargaan tersebut atau justru sebaliknya. Sebab, Soeharto dianggap tidak suka sanjungan dan penghargaan. Hal itu terlihat saat ada rencana untuk memberikan gelar Doctor Honoris Causa dari sebuah Universitas di luar negeri. Pemberian gelar itu juga ditolak oleh Soeharto. Demikian cerita soal Soeharto seperti yang tertulis dalam buku "Pak Harto Pandangan dan Harapannya" oleh Abdul Gafur. 

Meski Soeharto tak merespons mengenai usulan pemberian gelar itu, desakan mulai muncul. Desakan mulai datang dari Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Mereka menyampaikan kembali agar Soeharto berkenan menerima penghargaan tersebut.

Gayung pun bersambut. Soeharto menyatakan dengan halus: "Penghargaan rakyat itu bagi saya adalah penghargaan terhadap keputusan rakyat sendiri yang telah berhasil memilih seorang pemimpin yang dapat melaksanakan tekad rakyat untuk membangun," ujar Soeharto kala itu.

Pro dan kontra sempat mewarnai pemberian gelar Bapak Pembangunan ini. Untuk itu, Wakil Ketua DPR Mashuri Saleh ingin usulan pemberian gelar itu direm. Alasannya, ia khawatir akan terjadi pengkultus-individuan terhadap Soeharto sama seperti halnya dengan Bung Karno yang dipuja-puja secara berlebihan dalam bentuk berbagai penghargaan.

Akan tetapi, pandangan Mashuri ini tenggelam oleh hingar bingar masyarakat yang mengelu-elukan Soeharto agar diberikan gelar kehormatan Bapak Pembangunan. Banyak pula tokoh yang mendukung rencana pemberian gelar tersebut, seperti Buya Hamka. Mereka beralasan, dalam era pembangunan di bawah kepemimpinan Soeharto pembangunan ini baru dimulai."Malah kita baru mengenal apa arti pembangunan itu," katanya.

Karena desakan begitu kuat, melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.

Biografi Soeharto

Nama Lengkap : Soeharto
Tempat Lahir : Kemusuk | Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 8 Juni 1921
Zodiac : Gemini

Anak : Hutomo Mandala Putra, Siti Hediati Hariyadi , Siti Hardiyanti Rukmana, Bambang Trihadmodjo, Sigit Harjojudanto , Siti Hutami Endang Adiningsih 
Istri : Fatimah Siti Hartinah Soeharto

Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Dia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin besar revolusi Bung Karno. 

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998. 

Namun, akhirnya dia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa pada 1998, melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan Ambisius tanpa fatsoen politik. Ayah lima anak ini pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Dia akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Soeharto menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan. Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianati, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa.

Selama masa jabatannya, dia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan pada 1985. Maka, dia mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Dia meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari, sejak 4 sampai 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Soeharto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta. Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

PENDIDIKAN

  • SD Pedes Yogyakarta
  • SMP Muhammadiyah di Yogyakarta
  • Sekolah militer di Gombong


KARIR

  • Anggota TNI
  • Komandan Brigade Garuda Mataram
  • Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel
  • Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD)
  • Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
  • Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
  • Panglima Kopkamtib
  • Mayor Jendral
  • 1966 - 1998 Presiden Kedua RI


PENGHARGAAN

  • Bapak Pembangunan Nasional
  • Bintang Mahakarya Gotong Royong dari Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Using Facebook