Senin, 25 Februari 2013

Budaya Malu.


حدثنا عبد الله بن يوسف قال اخبرنا مالك بن انس عن ابن شهاب عن سالم بن عبد الله عن ابيه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على رجل من الانصار وهو يعظ اخاه في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعه فان الحياء من الايمان (خر جه البخاري ف كتاب لايمان باب الحياء من الايمان)[1]      

artinya: “meriwayatkan Abdullah bin Yusuf telah berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang member nasehat saudaranya perihal pemalu. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman.”

Malu adalah suatu sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau kurang sopan. Malu merupakan salah satu kategori akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). “Malu adalah bagian dari keimanan seseorang.” (HR al-Hakim dan Baihaqi).


Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanita nya berjalan di tengah kaum lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”

Menundukkan bagian juga bagian dari rasa malu. Sebab mata memiliki sejuta bahasa. Tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt memerintahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan mereka. Memang realistis kekinian tidak bisa dipungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial politik. Ada yang dengan alas an untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Sehingga bercampur baur dengan lelaki tidak bisa dihindari.

Drs. Yusuf Qaradhawi berpendapat,”Saya ingin mengatakan di sini bahwa bercampur baur antara wanita dan lelaki adalah diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak di kenal oleh warisana budaya kita pada sejarah berabad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui selain masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ (pertemuan) atau keterlibatan seorang lekaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan dan hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhwatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang diperhatikan di dalamnya.”

Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.

Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

  1. Malu kepada dirinya.
  2. Malu kepada manusia.
  3. Malu kepada Allah swt.

Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaaikan dan pokok dasar yang uatama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman, jelaslah bahwa pribadi yang mempunnyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka akan lenyaplah warna hijau itu bersama-sama lenyapnya buah itu sendiri. Justru itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang engkau kehendaki.” (HR. Bukhari).

Bahwa rasa malu bisa menjadi tameng bagi manusia. Bisa mencegah seseorang melakukan hal-hal yang tidak pantas apalagi maksiat dan dosa. Dan bila tidak ada rasa malu, maka seseorang bisa melakukan apa saja sesukanya sesuai dengan hadits di atas.

Malu melakukan hal yang sia-sia apalagi dosa merupakan indikasi (tanda) baiknya seseorang. Karena malu seperti ini adalah bagian dari iman. Bukan malu yang melakukan kebaikan. Karena malu melakukan kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini adalah malu yang tercela. Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik yang buruk, dan sebagainya.

Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus lebih merasakan malu kealfaan kita dalam menjalankan perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-Nya. Kita harus merasakan malu lantaran melakukan hal yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran menelantarkan kewajiban-kewajiban kita. Jangan sampai kita malu lantaran kondisi ekonomi kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keagamaan kita. Jangan sampai kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita.

Setiap orang mempunyai rasa malu, entah besar ataupun kecil. Malu itu merupakan kekuatan preventif (pencegahan) guna menghindarkan diri dalam kehinaan atau terulangnya kesalahan serupa. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Ibarat kendaraan, remnya sudah blong atau tidak dapat berfungsi lagi. “Jika engkau tidak tahu malu lagi, perbuatlah apa saja yang engkau kehendaki.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti korupsi, menyontek, menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah. Orang yang sudah dikuasai nafsu serakah dan tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya maka perbuatannya sama dengan perilaku hewan yang tidak punya akal, kecuali sekadar nafsu.

Hilangnya rasa malu pada diri seseorang merupakan awal datangnya bencana pada dirinya. “Sesungguhnya Allah SWT apabila hendak membinasakan seseorang, maka dicabutnya rasa malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang, malah dianjurkan orang benci padanya. Jika ia telah dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan mendapatinya sebagai seorang pengkhianat. Jika telah menjadi pengkhianat, dicabutnya sifat kasih sayang. Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang terkutuk maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu Majah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Using Facebook