Sabtu, 15 September 2012

HALAL or HARAM

Terminologi ‘halal’ dan ‘haram’ memang lekat dengan Islam. Namun, pada dasarnya setiap agama memiliki kriteria halal dan haram-nya masing-masing. Dalam agama Yahudi dikenal kata ‘kosher’, mirip dengan halal, namun kriterianya berbeda. Seperti juga Umat Islam, orang-orang Yahudi juga cukup berhati-hati terkait makanan yang masuk ke perutnya. Konon, mereka lebih cerewet dibandingkan muslim dalam hal pelabelan ‘kosher’ pada kemasan makanan yang diperjualbelikan.
Indonesia mayoritas penduduknya muslim, namun selama ini hampir tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa pasar-pasar yang memasok makanan untuk mayoritas tersebut menyediakan makanan yang halal. Bisa dikatakan, makanan yang beredar di pasaran, mayoritas sebetulnya masuk dalam kategori syubhat, terutama daging-dagingan. Mengapa syubhat? karena memang meragukan, tidak ada jaminan bahwa makanan tersebut halal. Halal bahannya, halal cara penyembelihannya, halal cara mendapatkannya (bukan barang curian).
Lalu, apa yang menyebabkan kita masih membeli makanan-makanan tersebut? Kepercayaan. Kita percaya bahwa makanan tersebut tidak mengandung unsur haram, kita percaya bahwa makanan tersebut diproses dengan cara yang halal, kita percaya bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang halal. Oleh sebab itu, setiap pedagang atau pengusaha mestinya merasa malu apabila dalam dagangannya terdapat unsur-unsur yang haram dijual, apalagi dengan sengaja melakukannya hanya untuk mendapatkan keuntungan.
Saya tidak sependapat dengan mereka yang mengatakan bahwa masalah halal-haram tidak perlu diurus dengan undang-undang. Mereka berpendapat, biarkan pasar yang menentukan, toh kalau seorang muslim peduli, mereka tidak akan membeli makanan yang haram. Pertanyaannya? siapa yang menjamin makanan yang dibeli memang halal? penjualnya? jangan-jangan dia pun tidak tahu kehalalan makanan yang dijualnya. Sebab, seringkali seorang penjual pun hanya menjadi ‘agen’ saja atau ujung tombak, sehingga makanan yang dijual sampai dari produsen pada konsumen.
Seorang konsumen akan perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mencari tahu apakah makanan tersebut diproses secara halal atau bahannya memang halal. Seorang muslim bukan tidak peduli dengan makanan yang dibelinya, akan tetapi, seperti yang sudah disebutkan, tingkat kepercayaan pada pasar memang tinggi, apalagi mayoritas penjual pun orang Islam. Sehingga, seorang konsumen merasa tidak perlu untuk melakukan cek dan ricek. Saya berani bertaruh soal ini. Untuk membuktikannya, beri makan 100 orang Islam, lalu setelah mereka makan, beri tahu bahwa makanan yang sudah dimakannya mengandung daging babi. Saya jamin, 90% lebih akan marah pada anda.
Seperti halnya ketika kita membeli -katakanlah- handphone. Kita percaya saja bahwa handphone yang kita beli bermerk Nokia atau Siemens. Akan tetapi, berapa banyak dari kita yang mau bersusah payah membuktikan bahwa handphone yang kita beli dirakit oleh Nokia? atau untuk membuktikan bahwa komponen pada handphone kita asli dari Nokia? Sedikit. Sangat Sedikit. Seperti itu juga halnya ketika seorang muslim ingin membuktikan bahwa makanan yang dibelinya terdapat unsur haram atau tidak.
Pasar tidak bisa dipercaya 100%, karena tabiatnya mencari keuntungan. Kalau bisa, dengan modal yang 100 ribu, untungnya 1 milyar. Meskipun harus berbohong dan menipu. Ada banyak contoh penipuan di pasar. Berapa banyak kasus yang ditemukan di Indonesia soal bakso yang dicampur daging babi atau daging tikus? berapa banyak kasus daging sapi glonggongan atau ayam tiren?
Beruntung, beberapa bulan terakhir, DPR mulai menggodok RUU Jaminan Halal. Namun, seperti biasa, ini juga bukan persoalan mudah, karena ada saja yang menolaknya, meskipun mayoritas anggota dewan sebetulnya mendukungnya. Penolakan memang berasal dari sebagian non-muslim. Akan tetapi, non-muslim sebetulnya tidak perlu khawatir dengan hal tersebut. Bahkan, sebetulnya tidak ada satu pun non-muslim yang terganggu dengan adanya UU tersebut -jika jadi disyahkan.
RUU ini bukan bertujuan mengubah status makanan dari halal menjadi haram, atau sebaliknya. RUU tersebut juga bukan bertujuan melarang penjualan makanan yang oleh agama lain halal, tapi haram bagi Umat Islam. Babi, meskipun dilabeli haram oleh Umat Islam, tetap tidak dilarang bagi orang Hindu Bali. Begitu pun, daging sapi yang halal bagi orang Islam, akan tetap haram bagi orang Hindu Bali. Sama sekali tidak ada yang berubah. Jaminan halal diperlukan hanya untuk memastikan bahwa makanan yang dijual di pasaran, memang layak, dalam hal ini bagi Umat Islam. Sehingga, dengan adanya hal tersebut, dapat mengurangi kekisruhan yang terjadi di masyarakat gara-gara ditemukannya makanan haram yang dijual di pasaran.
Saya malah mengharapkan bahwa jaminan halal itu bukan hanya untuk Umat Islam saja. Umat Kristen, Hindu, Buddha atau bahkan Yahudi sekalipun mau ikut berperan serta dengan -misalnya- bersedia mengusahakan agar dalam tiap makanan yang dijual pun tercantum label halal versi mereka. Sehingga, label halal bisa bersanding dengan label halal versi Kristen, yang berarti makanan tersebut halal untuk Umat Islam dan Umat Kristen. Dari segi bisnis, hal tersebut jelas akan menguntungkan. Tingkat kepercayaan masyarakat, yang menjadi target utama penjualan, akan menjadi lebih tinggi.
Tidak hanya makanan, akan lebih baik jika restoran, rumah makan, tempat pemotongan hewan, setiap kios di pasar-pasar pun diwajibkan mendapatkan sertifikasi halal, meskipun di wilayah dengan mayoritas muslim. Sebab, bagi setiap muslim yang baik, mengetahui makanan yang dimakannya halal, akan membuat jiwa dan hatinya tenang ketika menyantapnya. Akan tetapi, jika tidak tahu atau ragu-ragu, akan selalu dihantui rasa khawatir. Makanan juga berpengaruh terhadap tabiat seseorang, itulah sebabnya kehalalan makanan perlu mendapatkan perhatian serius. Barangkali, makanan-makanan yang sudah jelas kehalalannya akan dapat mengubah tabiat masyarakat Indonesia, yang katanya mayoritas muslim, untuk menjadi lebih baik. Sehingga, tidak berlarut-larut dalam hal-hal syubhat, sebagaimana yang dapat kita temui di setiap sendi kehidupan di negeri ini.
Sabda Rasulullah :

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَام

“Akan datang kepada manusia suatu masa, yang ketika seseorang tidak lagi memedulikan sesuatu yang diraihnya, apakah dari hasil yang halal ataukah dari hasil yang haram.” (HR. al-Bukhari no. 2059, dari sahabat Abu Hurairah z)
Suatu hari terjadi sebuah dialog yang mengesankan antara Rasulullah n dengan para sahabatnya, sebagaimana penuturan sahabat Abu Hurairah z berikut,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: اَلْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Rasulullah n berkata, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Setahu kami orang yang bangkrut itu adalah orang yang tak punya harta benda.’ Maka Rasulullah n menjelaskan, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun dia juga membawa catatan dosa; mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, membunuh si ini, dan memukul si ini. Akhirnya, pahala kebaikan yang dimilikinya diberikan kepada masing-masing orang yang dijahatinya itu (sebagai balasannya). Manakala pahala kebaikannya itu tidak mencukupi untuk menebus dosa kejahatan yang dilakukannya, diambillah dosa-dosa orang yang dijahatinya itu dan ditimpakan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka’.” (HR. Muslim no. 2581)

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا. وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ}. فَقَالَ: {ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ}. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذلِكَ؟
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah l itu Mahabaik (Suci), tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Sesungguhnya Allah l telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah l perintahkan kepada para rasul. Allah l berfirman, ‘Hai para rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal salehlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.’ (al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari segala sesuatu yang baik yang telah Kami rezekikan kepada kalian’.” (al-Baqarah: 172) 
Rasulullah bersabda,

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ…
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa menjauhi perkara-perkara yang syubhat (samar) sungguh telah melakukan penjagaan terhadap agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh dalam perkara-perkara yang syubhat (samar) niscaya akan terjatuh dalam sesuatu yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar hima (kebun hijau milik pemerintah yang tak sembarang orang boleh memasukinya), suatu saat dia akan tergoda untuk menggembalakan (hewan gembalaannya) di lokasi tersebut. Ingatlah setiap raja itu mempunyai hima, dan hima milik Allah l adalah hal-hal yang diharamkan-Nya….” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir z)

1. Yang HALAL dan yang haram adalah jelas di dalam Islam

Penetapan HALAL dan haram di dalam Islam adalah terang dan jelas. Setiap butiran yang HALAL dan yang haram terkandung di dalam al-Quran dan juga as-Sunnah. Oleh demikian, setiap umat Islam wajib merujuk kepada para ulamak yang mengetahui ilmu al-Quran dan as-Sunnah untuk mengetahui apa yang HALAL dan apa yang haram. Lebih utama untuk melakukan rujukan tersebut ialah para pengeluar dan para peniaga kerana kesilapan mereka akan turut membabitkan orang lain dalam menikmati makanan atau barangan yang haram atau tidak HALAL.

Panduan mengenali makanan dan barangan HALAL

Menurut ulamak, HALAL atau tidaknya suatu makanan dan barangan itu bergantung kepada dua faktor;

  • Zat makanan dan barangan itu sendiri; hendaklah tidak tergolong dalam perkara yang disenarai-haramkan oleh Syarak. 
  • Cara pemerolehan makanan dan barangan tersebut. Sekalipun zat suatu barang itu HALAL, namun jika diperolehi dengan jalan riba, penipuan dan sebagainya, maka ia adalah haram di sisi Syarak.Lebih terperinci, semua makanan dan barangan yang hendak diisytiharkan HALAL hendaklah mempunyai ciri-ciri berikut;
  1. Ia tidak mendatangkan mudarat kepada akal dan badan. 
  2. Ia bebas dari najis
  3. Ia bukan produk yang diperolehi dari sumber babi atau anjing.
  4. Bagi produk yang diperolehi dari sumber binatang-binatang lain yang HALAL dimakan (khususnya binatang darat) hendaklah dipastikan ianya disembelih mengikut hukum Syarak.
  5. Ia diperolehi melalui sumber yang diharuskan.
Oleh demikian, dalam pengeluaran barang-barang HALAL, para pengeluar hendaklah memastikan bahan mentah dan ramuan yang digunakan hendaklah HALAL. Binatang yang HALAL untuk dimakan seperti lembu, kambing dan sebagainya mestilah disembelih mengikut hukum Islam, di mana penyembelihannya itu dilakukan oleh orang Islam dengan memetuhi syarat-syarat penyembelihan yang ditetapkan. Bahan ramuan HALAL tidak boleh bercampur atau menyentuh bahan-bahan haram seperti produk daripada sumber babi atau anjing sewaktu menyimpan, mengangkut, memasak dan menghidangkannya.

Pada tahun 2001 umat Islam di Malaysia dan Indonesia digemparkan dengan berita mengenai enzim babi digunakan dalam pengeluaran bahan penambah perisa MSG. Bahan yang menimbulkan kontroversi itu ialah Bactosoytone iaitu nutrien yang digunakan untuk membiakkan bakteria yang akan digunakan sebagai medium pembiakan ibu dalam proses penapaian. Bactosoytone dihasilkan apabila protein soya diuraikan oleh enzim yang diekstrakkan daripada pankreas babi. Oleh itu, penggunaan Bactosoytone dalam pengeluaran MSG adalah haram kerana ia dihasilkan daripada sumber yang haram.

2. Jauhi yang syubhat

Di persimpangan antara yang HALAL dan yang haram tersebut terdapat yang samar-samar yang belum dipasti statusnya; apakah ianya HALAL atau haram, iaitulah perkara-perkara syubhat. Perkara syubhat ialah perkara yang diragui HALAL-haramnya. Langkah terbaik menurut Rasulullah ialah dengan meninggalkannya. Rasulullah s.a.w. menegaskan dalam hadis di atas; “…sesiapa menjaga dirinya dari segala yang syubhah itu, maka sesungguhnya ia memelihara agama dan kehormatan dirinya. Dan sesiapa terjatuh dalam perkara syubhah, kemungkinan ia terjatuh ke dalam yang haram…”.

Sebagai contoh; penggunaan gelatin. Gelatin dihasilkan daripada kulit dan urat binatang seperti babi dan lembu. Namun sekalipun gelatin diperolehi daripada lembu, ini tidak bermakna ianya HALAL kerana kita tidak tahu sama ada lembu tersebut telah disembelih mengikut hukum Islam atau tidak. Di banyak negara bukan Islam, hanya terdapat segelintir rumah sembelihan yang memenuhi keperluan orang Islam. Tambahan pula, kebanyakan makanan bergelatin tidak menyatakan sama ada gelatin yang digunakan itu diperolehi dari sumber babi atau lembu. Jadi, gelatin secara umumnya termasuk dalam perkara syubhat. Oleh demikian, penggunakan bahan bergelatin perlu dielakkan oleh umat Islam kecuali yang benar-benar jelas pengesahan HALALnya oleh pihak yang dapat dipercayai.

3. Kaitan penjagaan HALAL dan haram dengan hati

Dihujung hadis, Rasulullah menyebutkan tentang hati dan pengaruhnya terhadap perlakuan manusia sama ada baik atau buruk. Apa kaitan hati dengan konsep HALAL dan haram yang disebut di awal hadis? Persoalan ini dapat dijelas dengan dua tafsiran;

Pertama; Kesedaran untuk menjaga HALAL dan haram bergantung kepada hati. Hanya orang yang memiliki hati bertakwa dan takutkan Allah akan memerhati makanan atau barangan yang digunanya; apakah HALAL atau haram? Adapun orang yang fasik dan memiliki hati kotor, baginya tidak penting sama ada rezki yang dinikmatinya HALAL atau tidak. Yang penting adalah memenuhi selera dan nafsunya.

Kedua; Bersih dan sucinya hati berkait dengan makanan dan penggunaan barangan yang HALAL. Jika seseorang itu sentiasa melazimi yang HALAL, akan terjagalah hatinya. Akan tetapi jika ia mula terlibat dengan yang haram, akan kotor dan rusaklah hatinya.  
Tulisan ini hanyalah sekedar untuk berbagi, mungkin ada manfaatnya, apakah para pembaca sekalian ada yang sepemikiran dan tulisan ini, atau juga tidak sepemikiran, marilah sama-sama kita melihat sisi postif dan manfaatnya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Using Facebook