Selasa, 08 Januari 2013

Tradisi Unik Suku di Indonesia

Diartikel sebelumnya, penulis pernah menjelaskan tentang "Suku Bangsa"  dan "Festival Unik di Indonesia" .Keberagaman suku dan adat istiadat, membuat Indonesia kaya akan tradisi yang unik. Beberapa tradisi bahkan masih menyimpan cerita misteri yang kadang di luar akal sehat kita.

1. Ngayau (Kalimantan).

Siapa yang tidak kenal suku dayak, penduduk asli pulau kalimantan ini di kenal dunia sebagai suku yang tidak takut mati. Mereka sanagat mempercayai kekuatan alam dan adat istiadat mereka. Kayau atau Ngayau adalah suatu tradisi mereka yang sangat kejam dan mengerikan. Dimana dalam tradisi ini mereka akan mempertahankan wilayah kekuasaan mereka walau harus membunuh dan memenggal kepala musuhnya.


Setelah itu, kepala yang di penggal akan di bawa ke kampung mereka. Namun, tidak semua orang dari mereka mampu melakukan hal itu. Beberapa orang yang memiliki keberanian tinggi yang dalam melakukan Kayau. Itulah sebabnya orang yang melakukan kayau akan di populerkan di kalangan wanita dayak pedalaman. Mereka mengganggap orang yang melakukan kayau punya keberanian tinggi dan akan mempertaruhkan nyawa untuk melindungninya.

Selain itu, mereka mempercayai jika kepala musuhnya di penggal, roh si musuh tidak akan gentayangan dan mengganggu mereka untuk membalas dendam. Acara adat pun harus dilakukan untuk menenangkan roh si musuh tersebut dengan memberikan sesaji dalam upacara adat yang bernama tiwah. Namun, tidak semua musuh boleh di penggal kepalanya, anak-anak dan kaum wanita tidak boleh di penggal. Biasanya mereka hanya di perbudak. Karena itulah, tidak heran pada tahun 2002 terjadi tragedi sampit, dimana kepala warga madura banyak yang di penggal dan bertebaran di mana mana.

2. Mencuri Gadis Dianggap Ksatria dan Legal (Lombok)

Kawin Lari merupakan tradisi masyarakat Lombok khususnya suku sasak. Mencuri untuk menikah lebih kesatria dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Namun ada aturan dalam mencuri gadis di suku asli di Pulau Lombok. Dan gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemberitahuan bahwa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan gadis itu dirahasiakan, tidak boleh ketahuan keluarga perempuan.

Nyelabar, Istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diboleh ikut. Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang kekeluarga perempuan. Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang atau tetua adat setempat, sekedar rasa penghormatan kepada kliang, datang pun ada aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai juru bicara menyampaikan pemberitahuan. Memang unik budaya yang ada di Suku Sasak namun kini ada pergeseran budaya Merarik, seperti adanya prosesi meminta kepada orangtua dan bertunangan yang sebelumnya kurang dikenal oleh suku sasak. Tetapi seiring berkembangnya budaya luar dari masyarakat perantau yang datang dan menetap Akulturasi Budaya mulai terjadi. Lahirlah istilah sudah menikah tetapi belum nikah adat. Artinya prosesi menikah itu dilakukan dengan cara meminang tetapi belum menikah secara Merarik, mencurinya dari rumah si Perempuan. Ini Akulturasi Budaya yang muncul, meminang dan mencuri anak gadis prosesi nikah yang dujalankan bersamaan.

Ketika pasangan pengantin dengan menggunakan baju adat Lombok sang pengantin diarak menuju tempat orang tua si pengantin perempuan sambil berjalan kaki. Sebelum masuk ke pelaminan, pemuda Lombok biasa "menculik" anak gadis yang disukainya. Jika orangtua si gadis setuju dengan pemuda yang akan menikahi anaknya, ia akan memberi tanda dengan cara membasuh kaki pemuda tersebut dengan air sirop atau air kelapa. Sementara jika ia tidak setuju disimbolisasikan dengan membasuh menggunakan air tajin. Jika orangtua gadis tersebut menolak tetapi si pemuda tetap ngotot untuk menikahinya, orangtua si gadis biasanya menetapkan mahar yang tinggi untuk merestui anaknya. Ini sebagai ikatan agar anaknya diperlakukan secara baik.

Dalam pergaulan dengan lawan jenis, dikalangan wanita Lombok terutama remajanya juga dikenal istilah "pandai menipu". Maksudnya, wanita Lombok dikenal memiliki banyak pacar, karena itu ia harus pandai-pandai menyiasati diri agar tidak ketahuan oleh pacar lelakinya yang lain. Malah ada anggapan kalau pacarnya hanya satu berarti tidak laku dan tidak di hormati.Justru bagi wanita Lombok banyak pacar adalah sebagai suatu kebanggaan tersendiri..Ada cerita menarik yang kami kutip ”Biasanya pada saat 2 atau 3 sebelum hari raya idul fitri”Sang pacar akan membawa beberapa hadiah yang di peruntukkan bagi sang gadis.ini lah kelihaian dari perempuan untuk menyiasati pertemuan,karena si lelaki dateng pada waktu yang bersamaan.

3. Adat Ma'nene (Tanah Toraja)


Konon, tradisi ini berawal dari kebiasaan leluhur-leluhur mereka yang suka menyusuri bukit-bukit dan gunung tanpa alat transportasi apapun. Di tengah perjalanan, para leluhur ini kadang nggak kuat berjalan, mengalami sakit atau meninggal dunia karena kelelahan. Biasanya, kerabat yang tahu berita ini nggak langsung membawa atau menggendong mayat ini. Mereka malah menggunakan kekuatan gaib untuk membangunkan mayat tersebut. Tujuannya, agar mayat tersebut berjalan sendiri menuju tempat peristirahatan terakhirnya yaitu rumahnya sendiri. 

Menurut kepercayaan penduduk Toraja zaman dahulu, kita nggak boleh menyapa, memanggil, menyentuh, atau bahkan memegang mayat berjalan tersebut. Karena, mantra gaib dalam tubuh mayat tersebut akan hilang dan mayat akan kehilangan kekuatannya. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa orang yang memanggil atau menyentuh mayat tersebut akan menemui ajalnya dan meninggal dunia. 

Sampai sekarang tradisi ini masih ada dan bertahan, namun ritualnya berbeda. Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja digali dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani dan diarak keliling kampung. Uniknya, jasad mayat ini masih tetap utuh walaupun tidak diberi balsam atau jenis pengawet lainnya. Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur masih tersimpan dalam tubuh mayat tersebut. Mereka masih ‘’hidup” dan mengawasi keturunannya dari ‘tempat’ yang lain.

Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan diberi bedak dan dipakaikan gaun layaknya pergi ke sebuah pesta meriah. Selanjutnya, mayat ini diarak keliling kampung oleh beberapa anggota keluarganya. Kabarnya, mayat tersebut masih bisa berdiri tegak di atas kakinya sendiri, seakan ada kekuatan gaib yang menopangnya.

4. Tradisi Memotong Jari (Papua).


Apakah ungkapan kesedihan yang dipertunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Menangis, barang kali itu yang paling sering kita jumpai. Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.

Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok orangasasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Baliem Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri.
pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Seperti kisah seorang ibu asal Moni (sebuah suku di daerah Paniai), dia bercerita bahwa jari kelingkingnya digigit oleh ibunya ketika ia baru dilahirkan. Hal itu terpaksa dilakukan oleh sang ibu karena beberapa orang anak yang dilahirkan sebelumnya selalu meninggal dunia. Dengan memutuskan jari kelingking kanan anak baru saja ia lahirkan, sang ibu berharap agar kejadian yang menimpa anak-anak sebelumnya tidak terjadi pada sang bayi. Hal ini terdengar sangat eksrim, namun kenyataannya memang demikian, wanita asal Moni ini telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu.

Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.

Namun kini budaya 'potong jari' sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua. 

5. Tradisi Debus (Banten)



Kesenian Debus memang sudah menjadi legenda bagi masyarakat Indonesia khususnya Banten. Kesenian bela diri asal Banten ini terkenal karena kesenian ini tergolong ekstrim. Hal tersebut karena dalam kesenian ini dipertunjukan kemampuan manusia yang diluar nalar dan logika yakni dengan kebal terhadap senjata tajam, kebal api, memasukan benda tajam ke bagian tubuh tertentu, dan aksi ekstrim lainnya yang menimbulkan kengerian bagi siapa pun yang menyaksikannya.

Debus sendiri dalam bahasa Arab berarti tongkat besi dengan ujung runcing berhulu bundar . Banyak versi yang menyatakan tentang asal usul kesenian ini. Namun di tanah Banten, kesenian ini  bermula pada abad ke 16 di masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570) yang memperkenalkan kesenian ini sebagai salah satu instrumen penyebaran agama. Kesenian ini juga digunakan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692) menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat Banten untuk melawan penjajah.


Saat ini Debus ditampilkan dengan menggunakan kombinasi antara seni tari, seni suara serta seni kebatinan dengan nuansa magis. Karena nilai historis sebelumnya, kesenian ini juga dimulai dengan lantunan sholawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Beberapa kesenian Debus yang seringkali dipertontonkan memang membuat siapapun yang menontonnya akan merasa ngeri atau ngilu. Tak jarang dari penonton ada yang jatuh pingsan karena menyaksikan aksi para pemain Debus. Beberapa kesenian Debus yang sering dipertontonkan yakni menusuk perut dengan tombak, mengiris anggota bagian tubuh dengan golok, memakan api, menusukan jarum kawat ke lidah, kulit pipi atau anggota tubuh lainnya, menyiram tubuh dengan air keras, membakar tubuh, memakan beling dan aksi ekstrim lainnya yang terkesan tidak masuk akal.

Tidak semua orang Banten bisa memainkan kesenian ini. Dalam melakukan setiap atraksinya, setiap pemain memiliki syarat-syarat tertentu  yang biasanya dilakukan sekitar satu atau dua minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu, mereka juga dituntut untuk tidak melakukan beberapa pantangan yakni dilarang meminum-minuman keras, main judi, dan mencuri.

Konon, kesenian Debus ini memliki makna filosofis keagamaan yang kental, dimana dipercaya bahwa apapun yang dihantamkan ke tubuh mereka meskipun terlihat berbahaya tidak akan melukai mereka dikarenakan pemainnya memiliki iman kuat dan pasrah serta ikhlas kepada Tuhannya. Mereka pun percaya bahwa segala sesuatu akan terjadi karena kehendak Tuhan, meskipun secara logika hal tersebut akan melukai dan membahayakan mereka.

Uniknya tradisi khas Banten ini semakin tergerus oleh perkembangan zaman. Keberadaan kesenian ini semakin berkurang karena berkurangnya para pemain. Selain memang sudah tidak banyak pemuda yang tertarik melakukan kesenian Debus ini, kesenian ini juga dianggap cukup berbahaya untuk dilakukan. Banyak pemain yang terluka akibat kurangnya persiapan. Saat ini kesenian Debus hanya dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu. Dan bukan tidak mungkin salah satu warisan budaya Indonesia yang berasal dari tanah Banten ini akan menjadi sekedar cerita di masa mendatang akibat tergerus perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment Using Facebook